"Tenang saja. Masih banyak sate sedang dipanggang."
Senang mengetahui perkembangan tersebut. Aku menggeser duduk ke dekat jendela terbuka. Perut terisi penuh. Tubuh berpeluh. Terasa panas.
Senang melihat kandang ayam rapi. Sekat-sekat dan pagar tampak lebih rapat, sehingga ayam-ayam tidak terlihat.
Senja yang kian temaram rupanya membuat para ayam buras tidur cepat. Tiada suara ayam berkokok dan berkotek. Apalagi yang berkeliaran menikmati sensasi cacing menggeliat.
Aku meraih kipas terbuat dari anyaman bambu, lalu memandang halaman asri. Tampak sebentuk berwarna hitam legam meluncur mulus secara elegan dari kurungan. Bukan satu, tapi dua, tiga, lima, dan beberapa ekor.
Ekor? Aku memekik-mekik, lantas berseru dengan suara tertahan.
Mendengar teriakanku, sontak reptilia itu waspada. Kepalanya meninggi tegak. Rusuknya mengembang lebar. Lehernya memipih menjelma sendok.
"Tenang! Hari gelap adalah waktu bagi mereka untuk mencari makanan."
Sirkulasi darah di wajahku tiba-tiba berhenti. Perutku berguncang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H