Tak butuh basa-basi, aku mengambil piring. Mencomot sate dari loyang dan mengambil lima kerat lontong. Rasanya enak. Lebih kenyal dibanding daging ayam. Melihat wajahku bertanya-tanya, sang kawan tersenyum.
"Memang itu bukan ayam."
"Jadi?"
"Ya. Ternyata ini bisnis sangat menjanjikan."
"Oh, jadi?"
"Ya. Beternak ayam buras aku sudahi. Sekarang...... taraaaa... Ini," kedua telapak tangannya membuka, jari-jarinya menunjuk tumpukan sate di dalam loyang.
Seperti biasa, tanpa diminta, sang kawan menjelaskan secara panjang lebar bisnis barunya dengan berapi-api. Aku mendengarkan sembari mengunyah sate yang telah dicocol saus kacang dan sambal. Aku tidak menghitung jumlah tusuk yang daging bakarnya sudah masuk ke perut.
Sang kawan bercerita, pasar hasil bisnis tersebut memang terbatas di kalangan warga penikmat makanan berkhasiat. Santapan  bermanfaat bagi pengobatan dan kesehatan.Â
Harganya sangat bagus. Sementara ongkos produksi rendah. Lagi pula, belum banyak pemain pada bisnis itu. Inilah bisnis paling menjanjikan yang pernah ia tangani.
"Daging yang kau makan itu menyehatkan, selain mengenyangkan."
Aku memindahkan isi loyang ke piring. Ditambah saus, sambal, serta acar mentimun, wortel, dan bawang merah mentah. Tanpa menambah lontong.