Menumpang KRL ketika matahari telah naik setinggi tombak adalah, berbagi tempat dengan tumpukan karung sepatu dan jambu. Komoditas untuk diperdagangkan di Ibukota lain bersama barang atau hasil bumi lainnya.
Kereta Api Listrik jurusan Bogor-Jakarta, periode PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebelum dikelola oleh Ignatius Jonan, merupakan moda angkutan orang dan segala macam barang. Komoditas niaga boleh dimuat ke dalam gerbong seusai mengangkut penumpang yang hendak bekerja di Jakarta.
Berapa ongkosnya? Hanya para pedagang dan oknum petugas KRL yang mengerti.
Orang per orang penumpang, tumpukan barang dagangan, pedagang asongan, peminta-minta, dan segala rupa manusia berdesakan di dalam gerbong tanpa AC. Udara segar samar-samar menyelusup melalui jendela mangap dan pintu-pintu terpentang.
KRL pada saat itu selayaknya toko serba ada yang berjalan terseok-seok menuju Jakarta.
Maka setelah pukul sembilan pagi, karung-karung sandal dan sepatu dari pusat grosir di sekitar stasiun Bogor dimuatkan ke gerbong. Berturut-turut dari stasiun Cilebut, Bojonggede, Citayam naik karung dan keranjang berisi singkong, pisang, hingga jambu biji.
Kini cerita keriuhan seperti itu sudah menjadi sejarah. Sekarang gerbong full AC, rapi, bersih, dan wangi. KRL hanya dan hanya untuk mengangkut penumpang yang resmi membayar ongkos.
Demikian pula Cilebut sebagai pusat penghasil buah jambu biji. Dulu. Kini hasil panen kurang dapat memenuhi syarat perhitungan pedagang buah besar/grosir. Demikian menurut seorang penjual jambu biji dan jambu kristal di pinggir Pasar Anyar, Kota Bogor.
“Sekarang mah kurang. Kebunnya sudah menjadi perumahan.”
Jadi, mendapat jambu biji dari mana?