Bangun tidur, seorang kawan mendapati kakinya terkulai. Setahun lalu ia pasang pen titanium di tulang paha. Hatinya galau, apakah ini musibah?
Waktu itu pen titanium dipasang pada paha untuk menyambung tulang patah akibat kecelakaan lalu lintas. Menghabiskan uang sekitar seratus juta rupiah. Ditambah biaya-biaya fisioterapi pascaoperasi. Entah berapa kali.
Setahun kemudian, pen titanium itu patah menjadi dua. Kaki terkulai tidak kuasa menopang tubuh.
Sekali lagi ia mesti dioperasi. Mencopot patahan pen, diganti dengan barang baru. Tentunya dengan dokter ahli lain di rumah sakit berbeda. Kurang lebih biayanya pun sama.
Padahal ia merasa tidak melakukan "dosa", sehingga mengalami kejadian menyulitkan. Ia juga merasa telah banyak berbuat amal dan bersedekah.
Mengapa masih diberi musibah?
Sebagai pemborong sukses, ia kerap mengamalkan sedekah. Dalam bentuk uang, makanan, atau barang-barang layak pakai. Apalagi di bulan ramadhan, rajin banget bersedekah.
Kegiatan tersebut diperlihatkan dan diceritakan dengan bangga kepada orang-orang.
Terutama apabila sedekah yang dilakukan itu, berhubungan dengan kegiatan amal di instansi yang memberinya banyak proyek. Atau karena seorang kepala dinas memintanya untuk memberi sumbangan.
Bagaimana hukum sedekah semacam itu?
Sedekah adalah salah satu amalan di dalam Islam yang merupakan ibadah sosial demi mewujudkan hidup saling berbagi, terutama berbagi kepada pihak yang membutuhkan.
Sedekah merupakan pemberian spontan dan sukarela kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, tanpa sekat waktu dan batasan nilai. Hanya berharap ridho Allah dan dilakukan semata-mata demi kebajikan.
Ada juga yang memaknai sedekah sebagai satu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bentuk sedekah bisa berupa materi (harta), seperti uang, makanan, barang. Bisa juga berupa non-materi, berupa tenaga untuk menolong, ilmu yang bermanfaat, dan senyum ramah kepada sanak saudara dan orang lain. Diberikan kepada penerima yang benar-benar memerlukan.
Bersedekah seyogianya dilakukan dengan niat tulus, ikhlas, tidak pamer (tidak ingin dipuji/riya), agar dianggap dermawan. Juga tidak perlu menceritakan sedekah dikeluarkan atau menyakiti perasaan penerima, sebab akan menghapuskan makna sedekah.
Umumnya sedekah dipahami sebagai amalan Sunnah. Namun dalam keadaan tertentu, hukum sedekah dikategorikan menjadi 4:
- Wajib. Apabila bersua dengan orang yang sangat memerlukan pertolongan. Umpama, melihat orang fakir kelaparan, yang jika tidak ditolong akan membuat keadaannya kian parah bahkan meninggal.
- Sunnah. Umat Islam sangat dianjurkan untuk bersedekah. Kebiasaan baik yang bila dikerjakan akan memperoleh pahala, bila tidak dilaksanakan tidak berdosa.
- Makruh. Apabila barang diserahkan tidak bisa digunakan atau rusak.
- Haram. Apabila harta atau barang disedekahkan berasal dari hasil perbuatan curang (korupsi, hasil sogokan, mencuri). Juga bila sedekah digunakan untuk berbuat maksiat atau perbuatan dilarang agama.
Jadi, kawan dalam kisah di atas bersedekah dengan keinginan agar mendapat pujian. Pamer atau riya.
Lebih celaka lagi, sebagian kegiatan sedekah dilakukan demi pamrih dari lembaga tempat ia memperoleh proyek.
Apakah ada kaitan antara musibah yang dialami dengan bersedekah? Entahlah.
Wallahu a'lam bishawab.
Rujukan:Â 1
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu batalkan (pahala) shadaqah kamu dengan bangkitan dan gangguan, sebagaimana orang yang belanjakan hartanya dengan riya' terhadap manusia dan (yang) tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka bandingannya (adalah) seperti satu batu licin yang di atasnya ada pasir, lantas ditimpa hujan lebat, yang lalu jadikan-dia licin (bersih). Mereka tidak mendapat sesuatu (pahala) dari apa yang mereka telah kerjakan; dan Allah tidak memimpin kaum yang kafir." (QS. Al Baqarah 264)
Bangkitan:Â seseorang yang telah berbuat kebaikan, tetapi kemudian ia mengungkit-ungkitnya.
Gangguan:Â seseorang yang telah menolong orang lain, kemudian si penolong menceritakan kepada orang lain hal yang menyakiti orang ditolong. Atau menolong diiringi dengan gangguan kemerdekaan atau kehormatan orang yang ditolongnya. Atau orang yang lantaran dermanya dalam satu urusan, lalu mempengaruhi urusan tadi.
[Ayat dikutip dari Al Furqan (Tafsir Al Qur'an) oleh A. Hasan, terbitan Toko Kitab Salim Nabhan, Surabaya, tahun 1957]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H