Dalam perkembangan selanjutnya, perusahaan saya telah melengkapi dokumen perizinan untuk bidang pekerjaan jasa konstruksi. Kemudian merambah ke perolehan proyek fisik atau konstruksi, selain masih tetap menjalankan usaha pengadaan barang.
"Permainan" di bidang konstruksi pada lingkungan Pemda itu lebih rumit. Agar memperoleh proyek, harus melalui proses pendekatan dan menjamu pejabat-pejabat pengadaan.
Setelah memperoleh proyek, masih ada berbagai pihak yang mesti diberi "amplop" agar pekerjaan lancar. Butuh banyak biaya tak tercatat alias biaya siluman.
Dengan demikian, saya terjun di bisnis pengelolaan proyek-proyek Pemda, di mana terdapat biaya-biaya yang tidak dapat diakui sebagai biaya resmi dalam laporan pajak. Ya! Biaya yang merupakan ongkos mendapatkan proyek, suap, dan gratifikasi.
Apabila tidak cerdik menyiasati, maka potensi kerugian membayang. Bagaimana menyiasatinya?
Spesifikasi sesuai dokumen dikurangi, terutama pada bagian-bagian yang "tak terlihat" atau bagian yang ditanam. Umpama: mengurangi kedalaman galian; mengganti ukuran diameter besi atau mengurangi jumlah besi yang dicor; dan sebagainya.
Namun semuanya ada perhitungan toleransi, agar bangunan tidak rusak dalam waktu dekat. "Mainnya" tidak kasar.
Triknya? Rahasia. Jangan sampai artikel ini menjadi pelajaran cara mengurangi kualitas dan kuantitas bangunan pemerintah.
Dengan kata lain, dalam bisnis di atas saya gagal mewujudkan wejangan kawan agar meneladani sifat Rasulullah.
Mungkin ada yang bilang, bisnis sekarang kan berbeda dengan perdagangan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad?
Betul. Bentuk, skala, maupun sifat usaha bisa berbeda, tetapi tata cara menjalankannya tidak ada perbedaan: Sidiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah.