Berbeda dengan tim pekerja itu yang tetap bersemangat dalam bekerja, kendati berpuasa. Waktunya saja disesuaikan, sedikit lebih pendek dibandingkan pada hari biasa.Â
Namun hal itu tidak banyak mengurangi pencapaian prestasi pekerjaan. On target. Saya salut dengan ketabahan dan ketangguhan mereka.Â
Jadi, menunaikan ibadah puasa tidak berarti melemahkan semangat bekerja atau mengurangi produktivitas.
Untuk kebutuhan makan, pada awalnya mereka memasak sendiri, makanan untuk sahur maupun berbuka puasa. Di antara para tukang biasanya ada satu orang yang mahir mengolah makanan.
Kegiatan memasak terhenti. Seorang penjaja datang sebelum sahur dan menjelang waktu berbuka, menggunakan sepeda motor ke proyek. Menawarkan nasi, makanan jadi, dan gorengan.
Makanan jadi berupa sayur matang (tumis buncis, kacang panjang, dan lain-lain) serta lauk-pauk berupa: orek tempe, kentang...., tongkol dicabein, telur dadar setengah). Umumnya berkuah merah, yang ketika dicoba terasa enak. Bagi tukang, yang penting porsi nasinya banyak.
Harga ditawarkan pun murah untuk ukuran tahun 2014, yaitu: aneka gorengan Rp 500 per potong; sayur dan lauk pauk Rp 2.000. Tukang menanak nasi sendiri. Bisa lebih banyak.
Artinya, dengan Rp 5.000 bisa mendapatkan sayur, lauk, dan dua potong gorengan. Untuk makan sahur dan berbuka masing-masing pekerja mengeluarkan uang tak lebih dari sepuluh ribu rupiah.
Yang penting nasinya banyak!
Pembayaran tidak tunai. Penjaja mencatat makanan dibeli dan nama tukang yang membelinya. Penagihan terjadi pada hari gajian, setiap Sabtu. Praktis.
Pria penjaja makanan jadi itu memahami kondisi keuangan para pekerja. Ia pernah memperoleh rezeki sebagai pekerja proyek. Mengerti bahwa sebagian besar penghasilan tukang dikirim kepada keluarganya. Memahami bahwa setiap hari Sabtu ada pembayaran upah.