Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengingkari Amanah

7 Maret 2022   05:59 Diperbarui: 7 Maret 2022   06:20 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini Pak Ganda memberi kepercayaan penuh kepadaku yang dikenal senantiasa memegang teguh amanah. Sebuah tugas yang kata orang merupakan pengambilan hak berusaha orang lain, yang kemudian menyebabkan suara-suara di dalam batin, di dalam kepala, bertengkar tiada henti hingga perjalanan ke sini. Lokasi paling terpencil di pinggiran kota yang teramat sepi sebagai tempat rendezvous ideal.

Tidak ada saksi. Tidak ada wartawan bakal mengikuti. Pertukaran kantong keresek dengan kesepakatan lisan bahwa proyek tersebut jatuh ke tangan Pak Haji. Tentu saja kantong keresek kedua akan diserahkan pada saat pencairan nanti.

Begitulah kesepakatannya, atau bahasa menurut buku-buku keren: meeting of minds. Bermakna memberi sekaligus menjanjikan materi kepada pejabat Dinas, agar birokrat tersebut menjalankan sesuatu yang melanggar sumpah jabatan, yakni menyerahkan proyek yang seharusnya dilelang secara terbuka kepada umum. 

Sumber-sumber terpercaya yang sempat aku baca menyebut itu sebagai kecurangan tersembunyi, yang lazim terjadi antara penyedia jasa dengan pemberi pekerjaan.

Lebih cerdasnya, dengan kata lain, perbuatan itu merampas kesempatan bagi pihak lain yang berusaha memperoleh proyek secara jujur. Dilakukan "di bawah meja" dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh khalayak. Tahu, tapi tiada seorang pun yang bisa membuktikan. Rahasia umum!

Suara-suara bertengkar. Di balik jendela mobil sebelah kiri, suara dari satu kepala bertanduk berujar dengan percaya diri, "gak perlu khawatir. Engkau hanya menyampaikan. Bukankah kau diajarkan sejak kecil untuk senantiasa menjaga amanah? Menjunjung kepercayaan?"

"Tidak! Jangan dengarkan dia. Memberi suap adalah tindakan korupsi. Korupsi adalah mencuri," kepala berwajah jernih mengimbau dengan melas. Sayap-sayap putih di samping kiri kanannya layu.

Di kiri, tombak trisula mengentak kasar, bibir merah dari wajah sangar membentak, "tahukah engkau? Selama ini makan gaji dari mana? Tidak yang salah dengan menyukseskan kegiatan penting dari kantor."

"Ingat pesan ibumu! Ingat hantaman kayu panjang dari ayahmu! Suap, mempengaruhi keputusan pejabat demi keuntungan sendiri adalah termasuk perbuatan mencuri. Pantangan bagi keluargamu," wajah pucat berkata lemah. Putus asa.

Sejenak dada berdegup. Tengkuk bergidik. Terbayang bagian tubuh terpotong. Ayah menebas kedua lengan dengan samurai yang sisi mengkilapnya terciprat darah segar. Merah. Bukan penggaris kayu tiga puluh sentimeter yang patah kala menghantam tanganku.

Telepon genggam bergetar. Telinga menangkap suara terengah-engah, "tunggu sebentar ya! Telat sepuluh menit. Lagi ganti ban mobil."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun