Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengingkari Amanah

7 Maret 2022   05:59 Diperbarui: 7 Maret 2022   06:20 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Sora Shimazaki dari Pexels

Dada berdegup. Tengkuk bergidik. Membayangkan bagian tubuh terpotong. Bukan penggaris kayu tiga puluh sentimeter yang patah kala menghantam tanganku.

Beliau meraih barang sekenanya untuk memukul, bila aku ketahuan atau dilaporkan oleh orang lain telah melakukan perbuatan tak terpuji. Baik menurut kaidah agama maupun ukuran yang diterima oleh masyarakat pada umumnya.

Tiada pemukul kasur dari rotan di dekatnya. Tiada pula sapu ijuk bergagang bambu. Dua-duanya terasa panas ketika dipukulkan dengan keras ke punggung atau lengan, meninggalkan jejak kemerahan berbentuk bulat atau memanjang, tergantung mana yang dipakai.

Sebuah penggaris kayu, panjang seukuran tiga puluh sentimeter lebih sedikit tergeletak di atas meja. Dengan mata nanar ayah menyambarnya, lalu menyabet tanpa sedikit pun mengurangi kecepatan daya ayun, sehingga menimpa telapak tanganku yang terbuka pasrah.

"Praaak ....!!!"

Kayu berwarna cokelat mengkilap patah pada bagian tengahnya. Menyisakan garis merah lebar di telapak tangan memucat. Sejenak tidak terasa apa-apa. Sedetik kemudian sebuah erangan dari mulutku meluncur, diikuti dengan mengalirnya rembesan dari kedua mataku.

Pelukan ibu menenangkan, "cep...cep...cep. Ayah, sudahlah. Ia sudah mengerti kesalahannya."

Hati ciut. Pikiran memberontak, berdalih bahwa perbuatan mengambil beberapa jambu biji yang menggelantung matang adalah lumrah bagi akal anak-anak. Berbeda halnya dengan pikiran orang dewasa, di mana soal alami itu merupakan perbuatan zalim. Sebuah kejahatan.

Maka pemilik kebun, di mana sejumlah pohon jambu biji ditanam, dengan gusar melaporkan kepada orang tua masing-masing. Ada yang dimarahi, dan umumnya ditegur keras dengan menggunakan ayat-ayat. Pokoknya, mengambil tanpa izin pemilik merupakan kejahatan serius. Ancamannya adalah potong tangan.

Namun di antara mereka yang paling parah menerima akibat adalah aku. Tanpa banyak cakap meluap dari bibir, ayah langsung menghantam tanganku dengan barang apa pun yang terlihat berada di dekatnya, yang sekiranya keras, amat keras sehingga ketika dipukulkan dapat menimbulkan memar. 

Penggaris kayu memang tidak sekeras gagang sapu atau penggebuk kasur dari rotan, akan tetapi rasa sakit disebabkan olehnya tetap membekas selama beberapa hari ke depan. Membuatnya menjadi bahan ejekan.

Kemudian ayah hanya berkata pendek, "Kasih tahu anakmu."

Syahdan ibu dengan lembut memberi tahu, para pendahulu mengajarkan, juga memberi contoh bahwa mengambil benda tanpa sepengetahuan pemilik, atau penerima yang berhak, adalah pantangan. Mencuri merupakan pantangan. 

Seterbuka apa pun benda itu berada, kendati tiada sesuatu apa yang melihatnya, pantang untuk menyentuhnya. Itu adalah kejahatan dengan konsekuensi terberat adalah potong tangan. Tiada kecuali.

***

Ayah dan ibu telah lama pindah ke alam sana. Takada lagi yang bakal menghantam tanganku dengan rotan atau kayu. Takada lagi suara lembut yang memeluk, mengajarkan agar hidup lurus hati. Tiada lagi yang bakal tahu atau menjadi alamat bagi orang-orang untuk melaporkan, karena aku mengambil hak mereka.

Namun demikian, aku percaya ayah dan ibu melihat dengan melotot apa yang aku perbuat pada hari ini.

Lantas ada suara mengingatkan agar tidak melakukan perbuatan ini. Sebaliknya, suara lain menjustifikasi bahwa ini perbuatan tidak langsung, di mana aku hanya sebagai penyampai. Pelaku sesungguhnya adalah atasanku. Mau bagaimana lagi?

Amanah. Suatu hal yang dipercayakan kepadaku bukanlah sekadar instruksi dari atasanku, Pak Ganda yang dikenal rajin ke tanah suci. Kantong keresek hitam di bawah kaki merupakan titipan yang mutlak harus disampaikan kepada seseorang yang amatlah penting bagi kelangsungan bisnis milik Pak Ganda.

"Beginilah cara-cara agar memperoleh proyek besar. Bukankah untuk memperoleh ikan kakap mesti melempar umpan besar?"

Selama ini aku tidak pernah terlibat, setidaknya tidak ikut mengetahui, juga belum pernah mendapatkan tugas semacam ini. Tugasku di belakang meja. Menjalankan amanah dengan mengerjakan tugas-tugas kantor sebaik-baiknya dan setuntas-tuntasnya.

Kali ini Pak Ganda memberi kepercayaan penuh kepadaku yang dikenal senantiasa memegang teguh amanah. Sebuah tugas yang kata orang merupakan pengambilan hak berusaha orang lain, yang kemudian menyebabkan suara-suara di dalam batin, di dalam kepala, bertengkar tiada henti hingga perjalanan ke sini. Lokasi paling terpencil di pinggiran kota yang teramat sepi sebagai tempat rendezvous ideal.

Tidak ada saksi. Tidak ada wartawan bakal mengikuti. Pertukaran kantong keresek dengan kesepakatan lisan bahwa proyek tersebut jatuh ke tangan Pak Haji. Tentu saja kantong keresek kedua akan diserahkan pada saat pencairan nanti.

Begitulah kesepakatannya, atau bahasa menurut buku-buku keren: meeting of minds. Bermakna memberi sekaligus menjanjikan materi kepada pejabat Dinas, agar birokrat tersebut menjalankan sesuatu yang melanggar sumpah jabatan, yakni menyerahkan proyek yang seharusnya dilelang secara terbuka kepada umum. 

Sumber-sumber terpercaya yang sempat aku baca menyebut itu sebagai kecurangan tersembunyi, yang lazim terjadi antara penyedia jasa dengan pemberi pekerjaan.

Lebih cerdasnya, dengan kata lain, perbuatan itu merampas kesempatan bagi pihak lain yang berusaha memperoleh proyek secara jujur. Dilakukan "di bawah meja" dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh khalayak. Tahu, tapi tiada seorang pun yang bisa membuktikan. Rahasia umum!

Suara-suara bertengkar. Di balik jendela mobil sebelah kiri, suara dari satu kepala bertanduk berujar dengan percaya diri, "gak perlu khawatir. Engkau hanya menyampaikan. Bukankah kau diajarkan sejak kecil untuk senantiasa menjaga amanah? Menjunjung kepercayaan?"

"Tidak! Jangan dengarkan dia. Memberi suap adalah tindakan korupsi. Korupsi adalah mencuri," kepala berwajah jernih mengimbau dengan melas. Sayap-sayap putih di samping kiri kanannya layu.

Di kiri, tombak trisula mengentak kasar, bibir merah dari wajah sangar membentak, "tahukah engkau? Selama ini makan gaji dari mana? Tidak yang salah dengan menyukseskan kegiatan penting dari kantor."

"Ingat pesan ibumu! Ingat hantaman kayu panjang dari ayahmu! Suap, mempengaruhi keputusan pejabat demi keuntungan sendiri adalah termasuk perbuatan mencuri. Pantangan bagi keluargamu," wajah pucat berkata lemah. Putus asa.

Sejenak dada berdegup. Tengkuk bergidik. Terbayang bagian tubuh terpotong. Ayah menebas kedua lengan dengan samurai yang sisi mengkilapnya terciprat darah segar. Merah. Bukan penggaris kayu tiga puluh sentimeter yang patah kala menghantam tanganku.

Telepon genggam bergetar. Telinga menangkap suara terengah-engah, "tunggu sebentar ya! Telat sepuluh menit. Lagi ganti ban mobil."

Bibir mengisap. Ujung rokok membara. Kepala berdenyut memikirkan sesuatu. Satu isapan lagi aku membuka jendela kiri, puntung masih panjang melayang.

"Pak sopir, kita kembali ke kantor sekarang juga."

"Sekarang, Pak?"

"Ya. Secepatnya!"

MPV beige metalik melesat, meninggalkan dua sosok terjengkang. Tubuh-tubuh bergelimpangan terlindas. Salah satunya tersenyum menang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun