Horizon memerah. Surya terjerembap memeluk malam. Rudolfo datang menggebrak meja. Berujar gusar, "segala hal harus pakai BPJS. Dasar negeri represif!"
"Tenang. Tenangkan dulu dirimu Kisanak," Ferguso memindahkan gelas yang kopinya berguncang-guncang.
"Bagaimana bisa tenang? Ngurus kelakuan baik saja harus melampirkan BPJS."
"Maksudmu, SKCK (singkatan dari: Surat Keterangan Catatan Kepolisian-pen)?"
"Ya. Itu. Sekarang, semua urusan disyaratkan melampirkan BPJS Kesehatan aktif. Padahal sudah lama aku menunggak iuran."
Rudolfo merogoh kantong celana, mengeluarkan hard-pack terbuat dari karton. Menarik ujung pita merah sehingga plastik pada bagian kepala kotak sontak robek. Membuka tutup.
Ujung silinder putih dijepit di antara bibir menghitam. Sementara bagian lain dibakar menggunakan korek api yang tergeletak di atas etalase.
Bersamaan dengan isapan kuat, bara api memerah. Pemantik plastik berwarna biru transparan otomatis masuk ke dalam kantong celana.Â
"Eit, kembalikan! Enak aja main serobot. Pantes korek api aye sering ilang," mata mpok Yumi pemilik warung melompat.
Rudolfo menggerutu, "pokoknya semua urusan pelayanan umum. Termasuk juga dalam syarat jual beli tanah. Bikin susah bagi kita yang tidak mampu membayar iuran. Dasar negeri represif."
"Barangkali lebih tepat, aturan yang mewajibkan. Kesannya, represi merupakan tindakan hukuman karena ada pelanggaran," Ferguso berkomentar dengan kalem.
"Ya sama aja! Pokoknya memaksa!"
Asap berkepul-kepul di sekitar wajah Rudolfo. Puntung baru separuh dibuangnya. Mencabut lagi sebatang dari hard-pack biru. Muka tegangnya mencucup asap.
Ferguso menghela napas. Tangannya mengibaskan kabut putih menghampiri, "tidak rugi membayar iuran. Ketika aku sakit, BPJS menanggung seluruh perawatan akibat infeksi paru-paru."
"Iya kalau sakit. Kalau sehat? Kan rugi bayar terus. Apalagi aku. Empat kepala! Terbebani seratus empat puluh ribu rupiah sebulan. Itu pun yang termurah!"
Lubang hidung Rudolfo mengembang. Menghembuskan asap seraya mendongakkan muka. Para pelanggan warung sedang makan mengangguk-angguk.
"Mpok Yumi geulis, kopi tubruk satu! Biasa, diaduk delapan kali...."
"Kenapa?"
"Itu angka hoki aku. Ayo, dihitung. Jangan bengong aja!"
Rudolfo membuang puntung baru separuh. Mencabut lagi sebatang dari hard-pack biru.
Ferguso mengamati. Dahinya mengernyit, "sehari berapa bungkus? Dulu aku biasa mengisap hampir tiga kotak sigaret dalam sehari. Berhenti kala masuk rumah sakit."
"Gak sebanyak itu. Palingan sebungkus."
"Ooooh," Ferguso berpikir cepat, "sebungkus dikalikan tiga puluh hari.... Aha...!"
Rudolfo berang, "ya gak begitu juga itung-itungannya... Pokoknya pemerintah negeri ini berlaku represif. Titik! Serba mengekang, memaksa, menindas rakyat."
Perdebatan terhenti. Suara azan magrib berkumandang. Ferguso menyeruput kopi hingga tersisa ampas. Lantas bangkit, bergegas menuju surau bersama pengunjung lain.
Demikian pula dengan Rudolfo. Menyeruput kopi bersama sebagian ampasnya, lalu bergegas ke arah berlawanan. Pulang.
Mpok Yumi yang bahenol berseru, "hooy..., mana duitnya?"
Tanpa menengok, Rudolfo berteriak, "ntar-sok... sekalian kopi yang kemarin-kemarin!"
-TAMAT-
Catatan: kisah di atas tidak nyata. Semata-mata rekaan pengkhayal pagi. Nama-nama diambil dari fantasi berkelebat, tidak ada hubungannya dengan siapa pun jua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H