Telur dipecahkan di atas baskom berisi air. Terlihat paku 7 sentimeter dan benda lain yang semuanya berkarat, keluar dari telur. Benda-benda itu harus dibuang ke air yang mengalir, dengan terbungkus rapat agar tidak terpercik ke orang lain.
Saya bertugas membuangnya. Sesepuh itu menyatakan bahwa saya tidak mempan disantet, sebab lahir di hari Jumat Kliwon. Benar atau tidak, saya mempercayainya. Tidak mempan santet!
Itu jawaban saya ketika seseorang bertanya, mengapa lama tidak mampir?
Ceritanya begini. Di rumah kedatangan dua ekor kucing kampung anakan hasil buangan orang tidak bertanggungjawab. Mengeong-ngeong minta makan. Bertambah lagi dengan anak kucing lain. Bertambah lagi dan lagi sehingga jumlahnya mencapai tujuh ekor.
Makanan disediakan bertambah banyak. Untuk itu, setiap Sabtu pagi saya mencari bahan pakan kucing, sambil jalan-jalan. Bukan pakan kucing kemasan, tapi ikan semi cooked sejenis pindang atau tongkol.
Sebuah warung sayur di dalam gang menjadi tujuan tetap. Selain harganya kompetitif, mutu ikan pindang/tongkol iris cukup baik. Sementara anak kucing berusia di bawah satu tahun diberi pakan khusus yang diperoleh di gerai modern.
Dalam perjalanan, diperoleh harga ikan yang lebih murah dengan kualitas terjamin. Di pasar. Maka saya jadi pelanggan tetap, meninggalkan warung sederhana di dalam gang. Apa boleh buat?
Kemudian selama dua bulan terakhir tiga ekor kucing mati tanpa diketahui penyebabnya. Sebelumnya sehat-sehat saja. Memang menjelang kematian, mereka tampak lesu dan tidak bernafsu makan.
Yang pertama ditemukan di rumah depan tetangga. Yang kedua terbujur kaku di halaman. Yang ketiga bernasib sama dengan kucing kedua.
Tadinya, semuanya lincah sampai hilang nafsu makan. Lesu, tapi tidak gelisah memandang kosong ke satu arah. Bisa jadi karena faktor cuaca atau sebab penyakit tidak diketahui. Saya memang tidak membawa mereka ke dokter. Yang jelas, tidak ada gelagat datangnya santet.
Lantas, apa hubungannya kematian kucing dengan santet?