Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lari dari Gaduh Menuju Sepi

30 Januari 2022   07:59 Diperbarui: 30 Januari 2022   08:00 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kota Besar yang Gaduh oleh SpiritBunny dari pixabay.com

Pohon-pohon beton. Jembatan-jembatan tanpa sungai. Ruang bagi warga metropolis yang tak pernah memicingkan mata, memancarkan lampu malam. Meriah.

Jalanan beraspal hotmix, di atasnya berseliweran konvoi keangkuhan dalam keriangan. Sepeda motor menyemut, dalam rangka menjemput rezeki.

Mereka yang tidak punya bekal terpaksa mengais-ngais sampah agar tidak lapar. Mereka menjual kerongkongan dan keringat di perempatan jalan menawarkan nyanyian, koran, minuman, dan rasa kasihan.

Mereka tinggal di permukiman dengan rumah-rumah berdinding kayu beratap asbes. Di sekitarnya terdapat kubangan menggenang berisi tikus-tikus, jentik-jentik, dan luka-luka.

Di sanalah Tegar Taqwa tinggal. Nama pemberian orang tua yang melambangkan keteguhan hati nan membaja, anak yang mampu bertahan dalam keadaan apa pun, senantiasa beruntung. Pembela keluarga.

Tegar Taqwa berangkat ke Kota Besar, meninggalkan kota kecil, tidak lama setelah ayah dan ibunya dimakamkan. Berangkat ke kota besar untuk membangun harapan.

Sekian lama tinggal di kota besar tidak membuat nasib Tegar Taqwa lebih baik. Pada malam-malam sepi ditemani nyamuk-nyamuk ia memandang gemerlap dari rumah-rumah megah dan mobil-mobil mewah. Tanpa uang, lapar, dan terlantar, ketika seseorang berbadan gempal menyodorkan bungkus yang dari mananya tersembul sebatang kretek.

"Atau..., kita bisa pindah ke kedai Mpok Ati. Saya belum makan malam."

Dalam waktu singkat dua orang kurus dan gempal makan dengan lahap. Sambil menyesap kopi mereka melanjutkan obrolan.

"Sibuk apa sekarang?"

"Ergh..... tidak tentu. Kadang sibuk. Lebih banyak diam menyantap angin."

"Mau gak bergabung...? Bekerja di Kota Besar tidak boleh nanggung. Menjadi orang baik sekalian yang bertahan hidup bersama idealisme. Atau menjadi jahat sama sekali dengan mengabaikan kemanusiaan."

Mata Tegar Taqwa tercengang. Tak lama setelah menyisakan ampas kopi, pria gempal beranjak meninggalkan bungkus rokok yang masih terisi setengahnya. Tegar Taqwa dengan gugup mengambilnya dan segera bangkit.

Tak lama setelah bergabung, Tegar Taqwa dijuluki John Item oleh pria gempal. Ternyata ia pemimpin tertinggi dari salah satu kelompok disegani di kota besar. John Item berjodoh dengan kelompok itu.

Kemahiran dan keterampilan yang tekun dipelajari di kampung halaman sangat berguna, demi membesarkan nama kelompok. Awalnya nama John Item berkibar terbatas di kawasan Distrik Merah Bongkaran, lalu menyebar ke distrik lain di Kota Besar.

Petualangan demi petualangan membuat namanya tenar. Nyaris menandingi nama besar pria gempal yang amat bangga dengan John Item. Sampai kemudian muncul persengketaan sebagai embrio dari kemelut berkepanjangan.

Gejolak memuncak. Pria gempal tertembak mati dalam sebuah kericuhan yang kacau balau. John Item lari dari kegaduhan. Dengan sisa-sisa kekuatan hengkang dari prahara dan marabahaya. Terengah-engah meruntuhkan empat, lima, lawannya.

Tetesan bak biji jagung mengantarnya masuk ke dalam bus untuk tujuan kota kecil. Kampung halaman berlatar belakang gunung Salak yang biru pada saat pagi hari yang cerah. 

***

Sepasang suami istri paruh baya tinggal di rumah kelas menengah. Anak-anaknya telah berkeluarga. Rumah terasa luas. Terasa sepi. Sepeninggal orang tua, mereka merupakan orang tua kedua yang merawatnya demi menamatkan Sekolah Menengah.

Sudah lama, mungkin enam atau tujuh bulan lalu, mereka mengundang Tegar Taqwa untuk menginap di rumahnya. Namun waktu itu kesibukan di Kota Besar membuatnya menunda rencana. Baru sekarang tujuan Tegar Taqwa ke sana untuk menenangkan diri dari kegaduhan.

Rumah tipe 70 itu berdiri di atas persil seluas 200 meter persegi. Permukiman gaya lama yang menyisihkan tanah keliling selebar satu setengah sampai tiga meter. Ada batas-batas terhadap jalan dan tetangga, berupa halaman yang cukup menjadi taman dan menanam pohon rimpang.

Hunian di perumahan tenang tersebut memang dirancang seperti itu. Kecuali rumah tetangga sebelah. Pasangan suami istri muda tersebut melebarkan sayap rumah, dengan meluaskan dapur dan ruang makan.

Tembok bangunan menempel di tembok pembatas. Oleh karena itu, kegiatan dapur dan makan terdengar jelas. Suara musik merembes sampai ke ruang keluarga Pakde dan Bude Pur.

"Apa sih enaknya lagu mendayu-dayu kekorea-korean seperti itu, ya enggak?" Bude Pur berkata dengan muka kesal.

Pakde diam. Mengaduk kopi dengan pandangan kosong. Aroma masakan menyelinap melalui jendela.

"Ini pasti mereka lagi masak sup daging. Doyan amat sama daging. Obesitas dan kolesterol baru nyaho," Bude Pur melipat wajah memerah.

"Apalagi bila ikan asin dan terasi yang baunya busuk. Pasti bukan bikinan Medan, Madura, atau Bangka."

Paman Pur hanya memandang Tegar Taqwa yang menunduk, sambil menyendok sayur asem tanpa garam dan tempe kukus.

Derit pintu gerbang bergeser. Setiap pukul setengah sepuluh pagi ART tetangga datang. Pulang setelah waktu asar. Selama itu pula dapur dan ruang makan menjadi ruang perjumpaan yang ramai dengan celoteh.

"Mereka pasti ngomongin Bude. Aku memang gendut, tua, dan terperangkap dalam rumah buruk ini."

Musik Korea, aroma daging rebus, bau terasi menyengat, dan obrolan-obrolan tetangga berpendar. Kepala Bude Pur berdenyut. Wajah tambah kusut. Ngedumel tidak jelas. Beranjak menuju kamar tidur.

Kedua mata Tegar Taqwa mengikuti langkah wanita malang itu dengan sedih. Pakde menghabiskan kopi, "menginap saja beberapa hari lagi. Bude dan Pakde masih kangen."

Kemudian pria sepuh itu mengambil tongkat dan menyusul. Tegar Taqwa menyesap kopi sambil merenung. Dari hari kedatangan sampai hari ini ada yang mengganjal dalam pikirannya.

Malam itu tidak ada kejadian istimewa. Senyap seperti biasa. Hujan turun. Suara TV menjalar lamban. Lampu-lampu padam. Sepi. Rintik jatuh di atap. Rintihan jangkrik. Desir pada dedaunan. Alunan orkestra mengantarkan lelap. Langkah kaki mengendap.

***

Pagi cerah. Menjelang pukul setengah sepuluh.

"Selamat pagi," Tegar Taqwa menyorongkan secangkir teh ke Bude, kemudian menyodorkan secangkir kopi berkepul-kepul ke Pakde.

"Tumben perhatian," Pakde berseri-seri. Tegar Taqwa tersenyum.

Tiba-tiba Bude Pur menegakkan punggung. Heran.

"Tumben? Tidak terdengar musik Korea. Tidak tercium aroma daging rebus atau terasi menyengat."

Derit pintu gerbang bergeser. Suara engsel pintu terbuka. ART masuk ke dalam rumah, berteriak histeris......

Gaduh! Pagi yang cerah telah pecah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun