Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lari dari Gaduh Menuju Sepi

30 Januari 2022   07:59 Diperbarui: 30 Januari 2022   08:00 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kota Besar yang Gaduh oleh SpiritBunny dari pixabay.com

Kedua mata Tegar Taqwa mengikuti langkah wanita malang itu dengan sedih. Pakde menghabiskan kopi, "menginap saja beberapa hari lagi. Bude dan Pakde masih kangen."

Kemudian pria sepuh itu mengambil tongkat dan menyusul. Tegar Taqwa menyesap kopi sambil merenung. Dari hari kedatangan sampai hari ini ada yang mengganjal dalam pikirannya.

Malam itu tidak ada kejadian istimewa. Senyap seperti biasa. Hujan turun. Suara TV menjalar lamban. Lampu-lampu padam. Sepi. Rintik jatuh di atap. Rintihan jangkrik. Desir pada dedaunan. Alunan orkestra mengantarkan lelap. Langkah kaki mengendap.

***

Pagi cerah. Menjelang pukul setengah sepuluh.

"Selamat pagi," Tegar Taqwa menyorongkan secangkir teh ke Bude, kemudian menyodorkan secangkir kopi berkepul-kepul ke Pakde.

"Tumben perhatian," Pakde berseri-seri. Tegar Taqwa tersenyum.

Tiba-tiba Bude Pur menegakkan punggung. Heran.

"Tumben? Tidak terdengar musik Korea. Tidak tercium aroma daging rebus atau terasi menyengat."

Derit pintu gerbang bergeser. Suara engsel pintu terbuka. ART masuk ke dalam rumah, berteriak histeris......

Gaduh! Pagi yang cerah telah pecah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun