Kedua mata Tegar Taqwa mengikuti langkah wanita malang itu dengan sedih. Pakde menghabiskan kopi, "menginap saja beberapa hari lagi. Bude dan Pakde masih kangen."
Kemudian pria sepuh itu mengambil tongkat dan menyusul. Tegar Taqwa menyesap kopi sambil merenung. Dari hari kedatangan sampai hari ini ada yang mengganjal dalam pikirannya.
Malam itu tidak ada kejadian istimewa. Senyap seperti biasa. Hujan turun. Suara TV menjalar lamban. Lampu-lampu padam. Sepi. Rintik jatuh di atap. Rintihan jangkrik. Desir pada dedaunan. Alunan orkestra mengantarkan lelap. Langkah kaki mengendap.
***
Pagi cerah. Menjelang pukul setengah sepuluh.
"Selamat pagi," Tegar Taqwa menyorongkan secangkir teh ke Bude, kemudian menyodorkan secangkir kopi berkepul-kepul ke Pakde.
"Tumben perhatian," Pakde berseri-seri. Tegar Taqwa tersenyum.
Tiba-tiba Bude Pur menegakkan punggung. Heran.
"Tumben? Tidak terdengar musik Korea. Tidak tercium aroma daging rebus atau terasi menyengat."
Derit pintu gerbang bergeser. Suara engsel pintu terbuka. ART masuk ke dalam rumah, berteriak histeris......
Gaduh! Pagi yang cerah telah pecah.