Rumah tipe 70 itu berdiri di atas persil seluas 200 meter persegi. Permukiman gaya lama yang menyisihkan tanah keliling selebar satu setengah sampai tiga meter. Ada batas-batas terhadap jalan dan tetangga, berupa halaman yang cukup menjadi taman dan menanam pohon rimpang.
Hunian di perumahan tenang tersebut memang dirancang seperti itu. Kecuali rumah tetangga sebelah. Pasangan suami istri muda tersebut melebarkan sayap rumah, dengan meluaskan dapur dan ruang makan.
Tembok bangunan menempel di tembok pembatas. Oleh karena itu, kegiatan dapur dan makan terdengar jelas. Suara musik merembes sampai ke ruang keluarga Pakde dan Bude Pur.
"Apa sih enaknya lagu mendayu-dayu kekorea-korean seperti itu, ya enggak?" Bude Pur berkata dengan muka kesal.
Pakde diam. Mengaduk kopi dengan pandangan kosong. Aroma masakan menyelinap melalui jendela.
"Ini pasti mereka lagi masak sup daging. Doyan amat sama daging. Obesitas dan kolesterol baru nyaho," Bude Pur melipat wajah memerah.
"Apalagi bila ikan asin dan terasi yang baunya busuk. Pasti bukan bikinan Medan, Madura, atau Bangka."
Paman Pur hanya memandang Tegar Taqwa yang menunduk, sambil menyendok sayur asem tanpa garam dan tempe kukus.
Derit pintu gerbang bergeser. Setiap pukul setengah sepuluh pagi ART tetangga datang. Pulang setelah waktu asar. Selama itu pula dapur dan ruang makan menjadi ruang perjumpaan yang ramai dengan celoteh.
"Mereka pasti ngomongin Bude. Aku memang gendut, tua, dan terperangkap dalam rumah buruk ini."
Musik Korea, aroma daging rebus, bau terasi menyengat, dan obrolan-obrolan tetangga berpendar. Kepala Bude Pur berdenyut. Wajah tambah kusut. Ngedumel tidak jelas. Beranjak menuju kamar tidur.