Pohon-pohon beton. Jembatan-jembatan tanpa sungai. Ruang bagi warga metropolis yang tak pernah memicingkan mata, memancarkan lampu malam. Meriah.
Jalanan beraspal hotmix, di atasnya berseliweran konvoi keangkuhan dalam keriangan. Sepeda motor menyemut, dalam rangka menjemput rezeki.
Mereka yang tidak punya bekal terpaksa mengais-ngais sampah agar tidak lapar. Mereka menjual kerongkongan dan keringat di perempatan jalan menawarkan nyanyian, koran, minuman, dan rasa kasihan.
Mereka tinggal di permukiman dengan rumah-rumah berdinding kayu beratap asbes. Di sekitarnya terdapat kubangan menggenang berisi tikus-tikus, jentik-jentik, dan luka-luka.
Di sanalah Tegar Taqwa tinggal. Nama pemberian orang tua yang melambangkan keteguhan hati nan membaja, anak yang mampu bertahan dalam keadaan apa pun, senantiasa beruntung. Pembela keluarga.
Tegar Taqwa berangkat ke Kota Besar, meninggalkan kota kecil, tidak lama setelah ayah dan ibunya dimakamkan. Berangkat ke kota besar untuk membangun harapan.
Sekian lama tinggal di kota besar tidak membuat nasib Tegar Taqwa lebih baik. Pada malam-malam sepi ditemani nyamuk-nyamuk ia memandang gemerlap dari rumah-rumah megah dan mobil-mobil mewah. Tanpa uang, lapar, dan terlantar, ketika seseorang berbadan gempal menyodorkan bungkus yang dari mananya tersembul sebatang kretek.
"Atau..., kita bisa pindah ke kedai Mpok Ati. Saya belum makan malam."
Dalam waktu singkat dua orang kurus dan gempal makan dengan lahap. Sambil menyesap kopi mereka melanjutkan obrolan.
"Sibuk apa sekarang?"