Saya bertanya kepada gadis tersebut. Bibir mungil yang tersenyum kecut berbisik lirih, ia sedang menahan pipis. Dengan sigap saya menawarkan diri untuk membebaskannya dari derita.
Toilet di stasiun kecil itu terlihat agak jauh, dengan perkiraan tidak bakal nyaman digunakan oleh gadis lemah, juga lembut, tersebut. Satu-satunya jalan, saya membawanya ke rumah warga di samping pagar stasiun. Waktu itu akses menuju stasiun bisa dari mana saja. Termasuk melalui permukiman.
Lega. Menunggu kira-kira setengah jam KRL beringsut. Sang gadis pelajar SMA turun di stasiun Depok Lama. Tersenyum manis.
Saya melanjutkan perjalanan dengan senyum-senyum sendiri, mengenang pertemuan singkat penuh makna. Maklum, sebagai bujangan jomlo persuaan menyenangkan itu menghadirkan getaran di dada.
Mendadak saya tepok jidat! Muncul kesadaran yang amat disesali.
Mengapa tidak bertanya nama dan alamatnya? Rasanya tidak rugi, jika berkesempatan mengantarkan dengan selamat sampai rumahnya, bukan? Ah...!
Begitulah suka duka menaiki KRL sebelum dibenahi oleh Ignatius Jonan dari sejak tahun 2009.
Terinformasi bahwa sampai saat ini KRL merupakan alternatif angkutan massal yang murah dan cepat bagi banyak orang. Itu menjadi tujuan utama.
Oleh karenanya, rencana kenaikan tarif KRL --berapa pun itu---akan membebani para pengguna. Sebagian mempertimbangkan untuk beralih ke alat angkut yang relatif murah dan cepat. Naik sepeda motor adalah satu pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H