Alat digunakan amatlah sederhana. Berupa bagian dari antena TV ditambah pegas ballpoint. Alat tersebut menjadi pengantar dalam pemindahan LPG. Agar proses berlangsung lebih cepat, tabung 3 kg didinginkan dengan es batu.
Risikonya adalah terjadi kebocoran gas yang dapat mengakibatkan ledakan.
Bila dibuat perbandingan, terdapat perbedaan mencolok antara LPG nonsubsidi dengan LPG subsidi. Keuntungan yang merangsang pihak tidak bertanggung jawab untuk mengoplos LPG subsidi.
Hitungan sederhananya begini:
Anggap harga rata-rata gas subsidi 3 kg Rp 20.000. Harga gas nonsubsidi 12 kg Rp 163.000. Jika isi tabung gas subsidi 3 kg dipindahkan ke tabung 12 kg, maka pengoplos akan mendapatkan keuntungan dua lipat.
- Penjualan 1 tabung isi gas nonsubsidi 12 kg = Rp 163.000
- Modal 4 tabung isi gas subsidi 3 kg = Rp 80.000
- Laba kotor = Rp 83.000
Keuntungan menggiurkan tersebut diduga akan menggoda para pengoplos untuk melakukannya, betapa pun risiko hukum dan bencana yang ditimbulkan.
Inilah yang dikhawatirkan. Pelaku pengoplos akan memborong LPG subsidi, kemudian mengonversikan ke tabung 12 kg dengan harga nonsubsidi.
Bukankah praktik oplosan LPG subsidi ke dalam tabung LPG nonsubsidi sebelum sebelumnya kerap terjadi? Berita-berita mengenai oplosan elpiji dapat dilihat di sini, di sini, dan banyak lagi.
Kenaikan harga LPG nonsubsidi yang baru lalu telah meningkatkan perbedaan harga dengan LPG subsidi. Disparitas yang melahirkan rangsangan bagi pelaku kejahatan untuk mengoplos LPG.
Potensi keuntungan dua kali lipat dari modal akan membuat mereka memborong LPG subsidi. Pada gilirannya, LPG subsidi 3 kg bakal mengalami kelangkaan yang kemudian berpengaruh terhadap kenaikan harga gas melon di pasaran.