Saya kebetulan duduk di depan. Angin bercampur debu adalah kemewahan, kendati siap terjepit di antara penumpang sebelah dan pintu besi.
Ongkos ditarik sebelum mobil kol berangkat. Sepertinya pemungut adalah calo. Artinya, uang yang dikeluarkan oleh penumpang bukanlah tarif sebenarnya.
Saat melaju, kendaraan melesat dengan cepat melalui jalan biasa (saat itu jalan tol Bocimi belum dibangun). Ada celah sedikit, masuk. Meski itu berupa bahu jalan berbatu.
Atau menyalip mobil lain dengan sela sempit, sementara di muka ada kendaraan. Namun sopir dengan tenang meliukkan badan mobil.
Mata saya melotot ke depan. Tangan berpegangan sebisanya pada hand grip di plafon. Kaki menekan sekuat tenaga lantai kendaraan.Â
Sesekali berbunyi "jeduk" seakan-akan saya turut mengerem. Sopir menoleh dan tertawa.
Kelegaan luar biasa diperoleh ketika tiba di terminal tujuan. Kusut, kuyu, berdebu.
Untuk menghentikan kaki gemetar dan mengembalikan denyut jantung ke posisi normal, saya menghabiskan bekal air mineral. Lantas memesan semangkuk bakso, teh tawar, dan kopi hitam tanpa gula.
Begitulah rasanya naik roller coaster versi jalan raya, yaitu sebuah angkutan umum "kol" jurusan Bogor-Sukabumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H