Pernah naik roller coaster? Wahana yang meluncur deras akibat efek gravitasi, dari satu ketinggian menuju titik terendah pada jalur khusus. Menaikinya sangat menegangkan, meski dijamin dengan pengaman.
Saat kereta merayap naik, timbul perasaan menyesal yang mendalam. Kenapa kok ya mau maunya menumpang wahana ini? Begitu turun dengan pesatnya, darah berhenti mengalir. Jantung meninggalkan dada. Wajah memutih dengan satu teriakan: aaaahhh.
Atau pingsan!
Biasanya wahana itu terdapat di taman bermain. Tapi jangan salah! Di jalan raya juga ada. Berupa angkutan umum yang menjelma menjadi roller coaster.
***
Menumpang kendaraan umum adalah menghadapi sopir ugal-ugalan, rasa tidak nyaman, gerah, berdebu, dan banyak copet.Â
Kemunculan bus TransJakarta di sekitar tahun 2004 merupakan oasis keruwetan transportasi umum di Jakarta.
Sebagai pendukung aktivitas ibu kota yang sangat padat, moda transportasi massal ini terasa empuk, nyaman, ramah, terjangkau. Juga bebas macet, karena ia berada di jalur khusus.
Awalnya tampak janggal. Jalurnya menyendiri di sisi sebelah kanan jalan. Mengambil satu lajur jalan protokol sehingga mengorbankan ruang gerak pengguna jalan lain.
Tidak ada salahnya. Malahan lebih bagus, di mana kepentingan massal didahulukan dibanding keperluan privat.
Menggunakan transportasi massal ini adalah kenangan masa lampau ketika saya masih bertualang di Jakarta.Â
Bus TransJakarta lancar jaya tiada penghalang, anti macet, berpendingin ruangan, dan nyaman.
Belakangan tersiar kabar bahwa bus TransJakarta kerap mengalami tabrakan. Publik menyoroti kecelakaan bus TransJakarta selama sebulan terakhir. Seperti diberitakan dalam kompas.com, "Adu Mulut antara Anggota DPRD DKI dan Direksi PT TransJakarta soal Rentetan Kecelakaan dalam Sebulan Terakhir".
Terjadi 502 kecelakaan melibatkan bus TransJakarta sepanjang Januari hingga Oktober 2021, demikian papar Direktur Utama PT. Transjakarta Yana Aditya dalam rapat bersama Komisi B DPRD DKI Jakarta, Senin (6/12/2021).
Apakah kecelakaan tersebut diakibatkan oleh kelalaian pengemudi atau lemahnya pengelolaan? Akar permasalahannya masih menjadi perdebatan.
Artinya, sampai titik itu persoalan angkutan umum berputar-putar di sekitar ihwal itu-itu saja: ugal-ugalan, kejar setoran, pengemudi lelah atau ngantuk, manajemen buruk, dan seterusnya.
***
Menaiki bus antar kota merupakan pengalaman menegangkan. Nyaris sepanjang perjalanan diisi dengan adegan kebut-kebutan.
Dari pool masih menjadi "anak baik-baik" yang menyisir Jagorawi dengan kalem. Selepas menjemput penumpang di terminal Pulo Gadung, saya masih bisa menikmati indahnya senja hingga gerbang keluar tol Cikampek.
Bus berhenti untuk rehat makan malam bagi para penumpang serta pengemudi dan kru. Setelah itu mulailah sopir menekan pedal gas. Rata dengan lantai kendaraan.
Waktu tidur arkian tersita oleh kesibukan saya meredam degupan jantung. Perjalanan ala menaiki roller coaster berlangsung. Tidak mengherankan, begitu tiba di tujuan sebuah kota di Jawa Timur, saya mencari tempat nyaman untuk tidur.
Itu belum seberapa.
Pengalaman menggunakan kendaraan umum selayaknya menaiki roller coaster, adalah ketika menumpang "kol" jurusan Bogor-Sukabumi.Â
Kol merupakan pelafalan dari Colt, sebuah kendaraan pick up keluaran pabrikan mobil berlambang tiga berlian yang dimodifikasi menjadi minibus.
Berhubung ada keperluan mendesak, satu saat saya terpaksa naik mobil kol menuju Sukabumi. Tiket kereta tidak mungkin go show, harus pesan beberapa hari sebelumnya.
Mobil Mercedes terbaru masih di showroom. Bukan belum siap, tapi belum sanggup membelinya.
Di luar terminal Baranangsiang, Bogor, banyak tersedia kol. Mengetem menunggu terisi penuh penumpang. Penuh bukan menurut seumumnya pemahaman tentang kapasitas minibus, tapi padat sepadat-padatnya seperti ikan pindang ditumpuk dalam satu keranjang.
Dua deret bangku belakang berisi masing-masing empat penumpang. Deretan tengah, empat orang ditambah satu kepala duduk di kursi kayu menghadap ke belakang. Jok depan memangku tiga penumpang. Enam belas penumpang!
Ditambah sopir dan asisten atau kenek, angkutan umum kol itu memuat 18 nyawa. Tidak ada hal yang bisa menjamin keselamatan manakala terjadi musibah.
Dengan satu tangan sopir memegang kemudi. Lengan kanan menyiku bertumpu pada bolongan jendela. Bibirnya menjepit sebatang rokok kretek.
Ya! Di ruang pengap para perokok bebas menghembuskan nikotin. Maka dengan itu bertambah pula penderitaan. Kaca jendela dibuka agar angin menyelusup.
Beruntung yang duduk di depan bisa membuka kaca lebar-lebar. Di belakang terkadang hanya bisa digeser sedikit, bahkan macet. Serba salah sih. Bila dibuka terlalu lebar, angin masuk terlalu kencang.
Saya kebetulan duduk di depan. Angin bercampur debu adalah kemewahan, kendati siap terjepit di antara penumpang sebelah dan pintu besi.
Ongkos ditarik sebelum mobil kol berangkat. Sepertinya pemungut adalah calo. Artinya, uang yang dikeluarkan oleh penumpang bukanlah tarif sebenarnya.
Saat melaju, kendaraan melesat dengan cepat melalui jalan biasa (saat itu jalan tol Bocimi belum dibangun). Ada celah sedikit, masuk. Meski itu berupa bahu jalan berbatu.
Atau menyalip mobil lain dengan sela sempit, sementara di muka ada kendaraan. Namun sopir dengan tenang meliukkan badan mobil.
Mata saya melotot ke depan. Tangan berpegangan sebisanya pada hand grip di plafon. Kaki menekan sekuat tenaga lantai kendaraan.Â
Sesekali berbunyi "jeduk" seakan-akan saya turut mengerem. Sopir menoleh dan tertawa.
Kelegaan luar biasa diperoleh ketika tiba di terminal tujuan. Kusut, kuyu, berdebu.
Untuk menghentikan kaki gemetar dan mengembalikan denyut jantung ke posisi normal, saya menghabiskan bekal air mineral. Lantas memesan semangkuk bakso, teh tawar, dan kopi hitam tanpa gula.
Begitulah rasanya naik roller coaster versi jalan raya, yaitu sebuah angkutan umum "kol" jurusan Bogor-Sukabumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H