Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Desain Universal, Sebuah Angan bagi Penyandang Disabilitas

6 Desember 2021   09:56 Diperbarui: 11 Desember 2021   17:42 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pagi di sepotong jalan dalam kota Bogor tanpa trotoar (dokumen pribadi)

Dulu berada di pinggiran. Kini di tengah kota, akibat terjadinya pergeseran batas-batas administratif. 

Dulu jalan berbatu. Kini permukaannya berlapis hot mix. Itu satu rute di kota Bogor yang menjadi penghubung dari atau ke pusat-pusat permukiman baru.

Lebar jalan relatif tidak berubah. Sekitar 6-6,5 meter. Namun lalulintas jauh lebih padat dibanding dulu yang hanya terlihat pedati, delman, dan pejalan kaki.

Sekarang pun masih tampak pejalan kaki, tapi tidak tersedia jalur nyaman dan aman bagi pedestarian. Ia harus berkompetisi dengan kendaraan bermotor pengguna jalan.

Belakangan, paling tidak seminggu dua kali saya melalui jalur tersebut. Biasanya pagi-pagi sekali. Kalau agak kesiangan, akan bersaing dengan pengguna jalan lainnya. Angkot, mobil, motor, sepeda, gerobak dorong, dan sesekali delman hias untuk wisatawan.

Tidak ada trotoar. Saya berjalan di bahu jalan berupa tanah berukuran 30-40 sentimeter. Kadang disemen oleh pemilik ruko, kendati melandai.

Suasana pagi di sepotong jalan dalam kota Bogor tanpa trotoar (dokumen pribadi)
Suasana pagi di sepotong jalan dalam kota Bogor tanpa trotoar (dokumen pribadi)

Lumayan daripada kesenggol motor ngebut, risikonya jatuh. Kalau perlu melipir ke pinggir, mepet pagar atau berhenti sama sekali. Dokter mewanti-wanti agar saya tidak jatuh.

Untuk ukuran kemampuan aksesibilitas saat ini, infrastruktur itu sangat padat. Ada angkot berhenti, menyebabkan antrean kendaraan. Tidak usah itu, gerobak melintas mengakibatkan pengguna jalan mengular.

Jadi cukup sulit bagi saya untuk berjalan kaki dengan aman dan nyaman. Jangan tanya tentang fasilitas penyeberangan jalan, lha wong zebra cross saja tidak ada.

Kebayang. Bagaimana dengan penyandang disabilitas fisik? Atau mereka yang memakai kursi roda?

Menurut Undang-undang, fasilitas publik dibangun sesuai dengan standar kenyamanan, keamanan, dan keselamatan bagi penyandang disabilitas (pu.go.id). Normanya begitu.

Kenyataannya, infrastruktur dibuat jauh dari amanat kebijakan. Jalan penghubung di atas adalah satu pemisalan. Bisa jadi masih banyak contoh lainnya.

Dalam membangun gedung publik seharusnya juga memerhatikan ketentuan penggunaan yang ramah bagi penyandang disabilitas.

Empat tahun lalu saya terlibat dalam salah satu bagian dari pembangunan gedung kantor sebuah dinas di Pemda. Ramp menuju pintu masuk sangat curam.

Ramp adalah bidang miring yang menghubungkan landasan rendah ke yang lebih tinggi. Rasio kemiringan dibuat dengan koefisien tertentu agar mudah dan nyaman dilalui oleh kursi roda dan troli.

Biasanya sekitar 10 derajat (rasio tinggi: panjang = 1:12 sampai 1:15). Cukup landai, bahkan untuk dilewati dengan berjalan kaki. Jika lebih dari rasio itu atau bidang datarnya pendek, maka ramp akan curam.

Nah ketidak-cermatan penentuan elevasi dan titik nol pada mula konstruksi gedung milik Pemda itu menyebabkan, salah satunya, pembuatan ramp yang tidak ramah bagi penyandang disabilitas. Terlalu curam. Hanya sepeda motor trail yang bisa melewatinya.

Menurut ketentuan, mestinya gedung memenuhi syarat-syarat universal design, agar semua orang dapat mengakses ruangan-ruangan di dalam bangunan (sumber). Yaitu:

  1. Kesetaraan penggunaan. Bangunan dapat diakses oleh semua kalangan dengan kemampuan berbeda.
  2. Fleksibel. Mampu menjangkau kebutuhan dan kemampuan pengguna.
  3. Penggunaan mudah. Setiap fungsi pada gedung mudah dimengerti oleh para pengguna, sesuai dengan: kemampuan, pengetahuan, bahasa, pengalaman.
  4. Informatif. Rancang bangun yang mudah dimengerti bagi pengguna.
  5. Antisipatif. Minimal dalam kesalahan penggunaan fungsi ruang dan mampu mengantisipasi kondisi takterduga (kecelakaan).
  6. Dapat digunakan secara efisien, nyaman, dan tidak melelahkan dalam penggunaannya.
  7. Bangunan mudah dijangkau, menyesuaikan dengan kondisi fisik, ukuran, serta tingkat fleksibilitas penggunanya.

Rancangan universal itu mestinya menjangkau pembangunan infrastruktur. Realitasnya, terdapat jalan tanpa ruang pedestrian, penyeberangan jalan, dan sebagainya yang tidak ramah untuk pejalan kaki. Apalagi bagi penyandang disabilitas.

Pembangunan jalan di bagian tertentu sebuah kota cenderung mengutamakan kepentingan kendaraan, daripada memberikan ruang kepada pejalan kaki, apalagi penyandang disabilitas. Kalah dengan pengembang real estate yang memikirkan rancang bangun properti secara inklusif.

Jangan sampai ini menjadi perlombaan antara gerombolan pemilik kekuatan dengan himpunan terpinggirkan tiada daya. Maka, diharapkan para pemangku kepentingan tunduk dengan khidmat kepada universal design dalam merancang lanskap kota.

Desain universal memuat sepotong angan, di mana infrastruktur sebuah kota berlaku ramah terhadap penyandang disabilitas dan pejalan kaki.

Bisa jadi itu semata-mata karena kealpaan pejabat publik dalam merancang tata kota yang senantiasa bertumbuh. Kemampuan proyeksi dari pengelola kota yang belum mampu menandingi pesatnya laju pembangunan.

Semoga ke depan beliau-beliau tersebut di atas sana lebih antisipatif menyusun tata kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun