Kebayang. Bagaimana dengan penyandang disabilitas fisik? Atau mereka yang memakai kursi roda?
Menurut Undang-undang, fasilitas publik dibangun sesuai dengan standar kenyamanan, keamanan, dan keselamatan bagi penyandang disabilitas (pu.go.id). Normanya begitu.
Kenyataannya, infrastruktur dibuat jauh dari amanat kebijakan. Jalan penghubung di atas adalah satu pemisalan. Bisa jadi masih banyak contoh lainnya.
Dalam membangun gedung publik seharusnya juga memerhatikan ketentuan penggunaan yang ramah bagi penyandang disabilitas.
Empat tahun lalu saya terlibat dalam salah satu bagian dari pembangunan gedung kantor sebuah dinas di Pemda. Ramp menuju pintu masuk sangat curam.
Ramp adalah bidang miring yang menghubungkan landasan rendah ke yang lebih tinggi. Rasio kemiringan dibuat dengan koefisien tertentu agar mudah dan nyaman dilalui oleh kursi roda dan troli.
Biasanya sekitar 10 derajat (rasio tinggi: panjang = 1:12 sampai 1:15). Cukup landai, bahkan untuk dilewati dengan berjalan kaki. Jika lebih dari rasio itu atau bidang datarnya pendek, maka ramp akan curam.
Nah ketidak-cermatan penentuan elevasi dan titik nol pada mula konstruksi gedung milik Pemda itu menyebabkan, salah satunya, pembuatan ramp yang tidak ramah bagi penyandang disabilitas. Terlalu curam. Hanya sepeda motor trail yang bisa melewatinya.
Menurut ketentuan, mestinya gedung memenuhi syarat-syarat universal design, agar semua orang dapat mengakses ruangan-ruangan di dalam bangunan (sumber). Yaitu:
- Kesetaraan penggunaan. Bangunan dapat diakses oleh semua kalangan dengan kemampuan berbeda.
- Fleksibel. Mampu menjangkau kebutuhan dan kemampuan pengguna.
- Penggunaan mudah. Setiap fungsi pada gedung mudah dimengerti oleh para pengguna, sesuai dengan: kemampuan, pengetahuan, bahasa, pengalaman.
- Informatif. Rancang bangun yang mudah dimengerti bagi pengguna.
- Antisipatif. Minimal dalam kesalahan penggunaan fungsi ruang dan mampu mengantisipasi kondisi takterduga (kecelakaan).
- Dapat digunakan secara efisien, nyaman, dan tidak melelahkan dalam penggunaannya.
- Bangunan mudah dijangkau, menyesuaikan dengan kondisi fisik, ukuran, serta tingkat fleksibilitas penggunanya.
Rancangan universal itu mestinya menjangkau pembangunan infrastruktur. Realitasnya, terdapat jalan tanpa ruang pedestrian, penyeberangan jalan, dan sebagainya yang tidak ramah untuk pejalan kaki. Apalagi bagi penyandang disabilitas.
Pembangunan jalan di bagian tertentu sebuah kota cenderung mengutamakan kepentingan kendaraan, daripada memberikan ruang kepada pejalan kaki, apalagi penyandang disabilitas. Kalah dengan pengembang real estate yang memikirkan rancang bangun properti secara inklusif.