Namanya lupa, ya tidak ingat.
Pada dinginnya sepertiga malam, pelupuk menggeliat. Menatap dinding. Semat pendek tertatih meninggalkan bilangan tiga, mengejar jarum panjang yang menyelam sampai dasar.
Cairan disaring dari hasil perjalanan darah ke seluruh tubuh dalam waktu semalam, mendesak-desak ruang penampung. Saya bangun, mengantarkan limbah ke mulut jamban, sekaligus membuka keran untuk cuci muka dan mengambil air wudu.
***
Setelah subuh, mengambil telepon genggam. Pesan-pesan WA menjejali layar. Baca sepintas. Membalas seperlunya lalu mengeluarkannya dari memori.
Lanjut membuka laman Kompasiana. Layar diam. Di bawah lubang kamera tertulis "Tidak Ada Koneksi Internet."
Ingatan yang tinggal separuh berusaha menelusuri. Lima menit kemudian saya baru sadar: lupa bayar internet! Barangkali kemarin malam pukul 23.59 WIB pemilik jaringan menutup jalur internet ke rumah saya.
Salah saya.
Mau menukar pulsa dengan paket data agar dapat menggunakan koneksi data, ternyata perlu hubungan internet untuk menjalankan aplikasi. Warung seluler belum buka. Mau ke ATM terhambat rasa malas.
Ya sudah. Saya berencana membayar tagihan nanti setelah matahari berangkat ke barat.
Melihat coretan di "catatan" belum selesai, saya terjun ke dalam samudera kata. Demikian asyik sehingga tidak menyadari tibanya waktu sarapan. Namun sebuah karya tulis selesai digarap.
Seusai mandi dan sarapan, secangkir kopi hitam tanpa gula bersama sepotong pizza singkong menemani saya bertualang ke rimba frasa.
Gagasan meronta-ronta segera ditangkap, lalu dikurung di Google Keep, sebuah aplikasi yang biasa saya gunakan untuk membuat catatan atau konsep kasar. Hasil akhir disimpan di Ms Word. Semuanya terpasang di telepon genggam.
Memakai laptop hanya dalam keadaan terpaksa. Repot! Lantaran saya cuma bisa mengetik dengan satu jari. Pasti akan lama banget. Tulis tangan? Bisa selesai sebulan untuk artikel 500 kata;
Eh, sampai mana tadi ya?
Gagasan meronta-ronta segera dieksekusi. Saya menikmati proses tanpa harus menengok WA, FB, Twitter, Kompasiana, bahkan berita online. Belum pukul sembilan, satu lagi karya tulis selesai.
Setelah beristirahat sebentar, sebuah gagasan baru meliuk-liuk, saya tergoda untuk menggagahinya. Siapa takut?
Kembali saya berhanyut-hanyut memungut huruf-huruf mengambang di angkasa kata-kata. Internet hidup setengah jam menjelang waktu Zuhur. Satu lagi tulisan berbeda usai dipindah ke Ms Word.
Kalau sudah disimpan di perangkat lunak bikinan Bill Gates itu, berarti artikel tinggal diendapkan saja. Hanya perlu penyuntingan minor, sebelum diunggah ke Kompasiana atau platform lain.
Hari itu saya merasa luar biasa. Satu suntingan dan dua tulisan selesai dalam waktu enam-tujuh jam. Ada tiga persediaan karya tulis dalam sehari. Rekor.
Biasanya satu karya tulis menghabiskan waktu sekurang-kurangnya setengah hari. Bisa lebih cepat, bila tema sesuai dengan pengalaman. Makin lama lagi membuat karya fiksi. Lebih dari satu hari. Apalagi merakit puisi, bisa menghabiskan waktu tiga hari sampai seminggu.
Orang lain, mungkin, mampu menulis tiga kali sehari. Pagi. Siang. Malam. Malahan, seorang Kompasianer yang enggan disebutkan identitasnya, menuliskan sebuah puisi hanya dalam satu tarikan napas. Maksud saya, ia demikian cepat menghasilkan karya tulis indah.
Oleh karena itu, saya patut berbangga hati mampu menghasilkan lebih dari satu karya tulis dalam setengah hari. Sampai dengan koneksi internet hidup lagi dan setelahnya, saya masih terkagum-kagum atas pencapaian tersebut. Luar biasa.
Namun demikian, saya akan menayangkan artikel pada keesokan harinya. Satunya lagi, esok harinya lagi. Sisanya, pada kesempatan berikutnya. Biasa. Ikutan aliran one day one article. Untuk penayangan, bukan menulisnya. Hehehehe.
Ealah, menjelang azan Magrib aliran listrik padam, sehingga koneksi internet mati lagi.
Ketiadaan hubungan internet memberikan kesempatan bagi saya lebih fokus. Tidak buyar dengan keinginan menanggapi pesan, pemberitahuan di linimasa, dan kegiatan lain berhubungan dengan internet.
Barangkali itulah hikmah di balik padamnya koneksi internet selama setengah hari. Kata londho Amerika dan Inggris: Blessing in Disguise!
Ini karya tulis dimaksud:
- Topi Fedora dan Kacamata Hitam Frame Bulat
- Membuat Pizza dengan Bahan Melimpah dan Murah
- Suara-suara Berkabut pada Pagi Paling Busuk, ditayangkan di platform lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H