Melihat coretan di "catatan" belum selesai, saya terjun ke dalam samudera kata. Demikian asyik sehingga tidak menyadari tibanya waktu sarapan. Namun sebuah karya tulis selesai digarap.
Seusai mandi dan sarapan, secangkir kopi hitam tanpa gula bersama sepotong pizza singkong menemani saya bertualang ke rimba frasa.
Gagasan meronta-ronta segera ditangkap, lalu dikurung di Google Keep, sebuah aplikasi yang biasa saya gunakan untuk membuat catatan atau konsep kasar. Hasil akhir disimpan di Ms Word. Semuanya terpasang di telepon genggam.
Memakai laptop hanya dalam keadaan terpaksa. Repot! Lantaran saya cuma bisa mengetik dengan satu jari. Pasti akan lama banget. Tulis tangan? Bisa selesai sebulan untuk artikel 500 kata;
Eh, sampai mana tadi ya?
Gagasan meronta-ronta segera dieksekusi. Saya menikmati proses tanpa harus menengok WA, FB, Twitter, Kompasiana, bahkan berita online. Belum pukul sembilan, satu lagi karya tulis selesai.
Setelah beristirahat sebentar, sebuah gagasan baru meliuk-liuk, saya tergoda untuk menggagahinya. Siapa takut?
Kembali saya berhanyut-hanyut memungut huruf-huruf mengambang di angkasa kata-kata. Internet hidup setengah jam menjelang waktu Zuhur. Satu lagi tulisan berbeda usai dipindah ke Ms Word.
Kalau sudah disimpan di perangkat lunak bikinan Bill Gates itu, berarti artikel tinggal diendapkan saja. Hanya perlu penyuntingan minor, sebelum diunggah ke Kompasiana atau platform lain.
Hari itu saya merasa luar biasa. Satu suntingan dan dua tulisan selesai dalam waktu enam-tujuh jam. Ada tiga persediaan karya tulis dalam sehari. Rekor.
Biasanya satu karya tulis menghabiskan waktu sekurang-kurangnya setengah hari. Bisa lebih cepat, bila tema sesuai dengan pengalaman. Makin lama lagi membuat karya fiksi. Lebih dari satu hari. Apalagi merakit puisi, bisa menghabiskan waktu tiga hari sampai seminggu.