"Tentu saja, bego)*"! Pakai cara ini, bukan yang itu! Mosok begini aja gak bisa?"
Aku melontarkan umpatan. Jengkel dengan otak Kasto yang bebal. Menyelesaikan hitungan sederhana semacam itu bisanya hanya garuk-garuk kepala. Bukannya berpikir lalu menuliskan barang sesuatu sesuai dicontohkan oleh Bu Guru di papan tulis kelas.
Kutarik buku tulis tanpa sampul .... Duh, padahal Bu Guru berkali-kali menyuruh murid-murid agar menyampuli buku-buku dengan kertas berwarna cokelat.
Kutarik buku tulis tanpa sampul itu dari pandangan begonya. Aku menulis angka-angka, di antara gambar palang dan sesudah menggaris jajar dua.
Mudah bagiku. Susah baginya.
Selain memiliki akal terlalu kecil, Kasto juga dekil. Kemeja putih --di mana bagian terbesarnya berwarna terlampau krem, malah kuning di bawah ketiak-- setiap hari dipakainya ke sekolah.
Celana pendek yang seharusnya bernuansa gelap, pudar pada beberapa lipatan. Lebih parahnya, telapak kakinya tidak tertutup kasut, atau setidaknya sandal jepit sebagaimana beberapa bilang siswa lain.
Oh ya perlu diketahui, sekolah dasar yang aku ceritakan bukan berada pada zaman sekarang, pada mana seragam putih bersih dan celana pendek merah cenderung marun. Murid-murid berseragam berbeda corak dan warna satu sama lain.
Dan pastinya anak-anak sekolah pada masa kini, umumnya, bersepatu. Di zaman kuda masih gigit besi tidak semua anak SD beralas kaki.
Namun demikian, di balik keluguannya Kasto menyimpan bakat luar biasa tidak terkira oleh siapa saja. Anak petani buah bengkuang --tepatnya umbi berwarna putih-- itu teramat pandai menggambar. Bukannya aku melebihkan, tapi senyatanya benar apa adanya bahwa Kasto dilimpahi karunia yang jarang didapat oleh anak lain.
Pengetahuan ini diperoleh manakala aku bermain ke tempat tinggalnya. Setelah puas makan bengkuang di kebun bapaknya, aku diajak mampir ke rumahnya.
Ternyata pada dinding anyaman terbuat dari bilah-bilah bambu ditempeli hasil menggambar. Sketsa-sketsa dengan arsiran dibuat melampaui kemampuan umuran anak SD.
Itu kelebihannya. Juga kekuranganku.
Sejak saat itu pula aku rajin datang ke rumahnya, belajar menggambar. Tentang pemandangan alam, hutan berikut penghuninya, juga menggambar ruang. Apa saja yang terbersit di benak.
Persahabatan berlangsung sampai kami melepaskan diri dari masa remaja. Setelah itu berpisah, menjalankan rencana masing-masing. Lama sekali, sehingga luntur ingatanku tentang kebegoan Kasto.
Sekarang mengemuka kenangan tentang sketsa-sketsa dengan arsiran. Tampak nyata hasil dari karunia dilimpahkan oleh Tuhan.
Kemampuan luar biasa di tangan Kasto menjadi coretan ajaib penghasil uang. Demikian melimpah sehingga Kasto menjadi tokoh kaya terpandang.
Kantor perancangan arsitektur dan pelaksanaan pembangunan itu merupakan yang terbesar di kota ini.
Biro arsitek dan usaha kontraktor itu tidak lain dan tidak bukan adalah milik Kasto dengan saham mayoritas.
Tiada lagi dan tiada akan pernah orang lain membego-begokannya. Tidak bakalan ada yang berani berpikir ke arah itu.
***
Semua karyawan tunduk ketika Kasto membego-begokan mereka.
Lebih baik dibego-begokan daripada kehilangan mata pencaharian. Lebih baik berpikir mencari jalan penyelesaian daripada membantahnya.
Demikian pula dengan diriku, lebih baik cari aman dengan menelan umpatan-umpatan.
"Bego! Mosok begini aja gak bisa?
Sekarang aku benci bengkuang.
)* Dipinjam dari potongan dialog dalam cerpen “Saksi Mata” karya Seno Gumira Ajidarma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H