Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Snob

10 Oktober 2021   12:57 Diperbarui: 10 Oktober 2021   13:02 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tangan kanan bergetar hebat. Berguncang tanpa kendali. Cairan merambati urat-urat, menembus batas atas. Deras.

Perasaan diperlakukan tidak benar memancur, menyala-nyala di dalam kepala. Pertentangan pendapat berderai-derai, memercikkan satu pertanyaan.

“Sebentar, sebentar! Jadi, kau tidak semufakat dengan usulan tadi?”

Lawan bicara pada telepon genggam seberang menyahut, “bukan begitu. Itu terlalu umum. Kita perlu men-deliver sebuah badan, semacam komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung itu.”

Keterangan berikutnya disampaikan dengan terbata-bata. Saluran melalui aplikasi bertukar pesan tanpa pulsa itu memang kurang bagus. Saya menjawab dengan kata-kata singkat, hmmm, ooh, begitu ya, dan seterusnya.

Saya berusaha keras meredam emosi, agar tekanan darah –dalam arti sesungguhnya—tidak meninggi. Hipertensi adalah pemicu timbulnya penyakit kronis pada diri saya.

Itu membuat emosi mudah tergugah. Sensitif. Perasaan sangat mudah terpancing, kendati disebabkan oleh perihal sederhana. Tertawa tak tertahankan, bila ada sedikit saja hal lucu. Sedih berlebih, ketika trenyuh hati. Marah hebat, saat ada yang menyinggung perasaan.

Selanjutnya, saya tidak lagi melontarkan argumen kepada Gustavo. 

Kawan sekolah itu sejak dulu senantiasa berdandan stylish, cenderung flamboyan, dan besar cakap. Gustavo memiliki selera tinggi, senang menjalankan gaya hidup berlebih, meniru-niru orang-orang yang berada di kelompok kaya. Tipikal orang pemanjat tangga sosial di awang-awang atau mengasosiasikan diri dengan social superiors.

Dus, seiring dengan itu ia kerap meremehkan lawan bicara yang dianggap lebih rendah dari padanya. Juga merasa dirinya lebih pintar, sehingga dalam banyak percakapan tidak mau kalah omong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun