Gustavo berkata pelan, “sebetulnya, seusai tugas sebagai duta besar, Fauzi ditawari jabatan komisaris Perusahaan Negara Pembuat Perlengkapan Militer. Tapi ia menolak, merasa tidak elok sebab istrinya telah menjadi komisaris Bank Pelat Merah.”
Saya, “ooh. Terus?”
Gustavo bersemangat, “begini. Tadinya Fauzi menjabat sebagai wakil rakyat komisi I, bidang pertahanan dan luar negeri. Terus jadi Dubes. Pensiun gak jadi apa-apa. Hanya sebagai anggota Tim Sosialisasi Ciptaker ke masyarakat luar negeri. Cuman begitu saja. Kayak gak ada kerjaan.”
“Jadi, maumu bagaimana?”
Seperti biasa, Gustavo panjang lebar menerangkan latar belakang pemikirannya. Seperti biasa, saya mengiyakan.
Tidak seluruh perkataannya dapat saya mengerti. Ujung-ujungnya, Gustavo ingin 'memberikan pekerjaan' kepada Fauzi.
“Kita perlu men-deliver sebuah badan atau komite.”
“Oh, begitu. Kalau usulan saya, menyangkut perbaikan komunikasi politik. Selama ini saya memandang bahwa kebijakan pemerintah tidak tersampaikan secara utuh kepada masyarakat awam, meski ada kementerian komunikasi. Artinya, substansi kebijakan tidak diutarakan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh orang banyak. Bahasa elitis untuk lapisan elite.”
Gustavo memotong, “terlalu umum. Usulkan komite spesifik, semacam komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung itu.”
“Kasih saya waktu,” kepala mulai pening.
Percakapan melalui aplikasi bertukar pesan tanpa pulsa menghabiskan waktu empat puluh lima menit. Perbincangan pagi itu membuat kening berkerut.