Saya merakit lagi rencana bisnis baru. Terpental. Lalu mereka-reka lagi rencana strategis anyar demi memenuhi kehendak Gustavo yang tidak sepenuhnya saya pahami. Ditolak lagi dengan rangkaian kata sepanjang rel kereta listrik.
Serasa empat ratus usulan dibuat, empat ratus kali pula ditolak.
Jalan buntu membuat saya membuka pintu keluar: mengucapkan akhirul kata kepada Gustavo. Demi merintis usaha baru, yaitu kegiatan mencari makan dengan menjalankan business as usual.
Lama. Lama sekali tak terdengar berita tentang Gustavo, sampai sebuah panggilan tak terjawab tertulis di layar telepon genggam. Segera saya memijit gambar telepon berwarna hijau, ”halo. Sori tadi gak keangkat. Ada berita apa nih?”
“Bagaimana kabarmu? Lama menghilang. Sibuk apa sekarang?”
“Di rumah saja. Jadi penulis. Tahulah penyakit yang saya derita.”
“Ya, ya, ya aku paham. Semoga lekas membaik.”
“Kunci pemulihan adalah semangat dalam diri kita.”
Selanjutnya, Gustavo menyampaikan nasihat dan rasa keprihatinan mendalam. Saya senang mendengar basa-basi panjangnya.
“Oh ya, kawan kita, Fauzi juga menderita penyakit sama denganmu.”
“Saya tahu. Gak sampai parah. Sempat dilarikan ke RS Gatot Subroto, sehingga penyumbatan dalam kepala segera diatasi.”