Saya mengenali kebiasaannya melembungkan dada. Bermegah dalam kata-kata dengan banyak keinginan muluk. Tidak mau mengembangkan usaha secara perlahan, konvensional, dan butuh perjuangan.
“Jangan mengusulkan business as usual! Buatlah grand design bombastis, menghasilkan uang banyak sekaligus.”
Ada selang waktu lumayan panjang Gustavo dan saya berada dalam sebuah institusi pekerjaan. Usulan untuk menjalankan sebuah usaha pemasokan, yang menurut hemat saya mampu mendatangkan pendapatan rutin, ditanggapi dengan mengangkat kepalanya.
“Kecil ya! Cuma seratus lima puluh juta per bulan.”
Ia demikian terobsesi kepada proyek pertama, dengan hasil enam koma satu miliar dalam tempo kurang dari dua tahun.
Lain waktu, menimbang bahwa kereta rel listrik sudah sedemikian bagus, tertib, dan rapi, berbeda keadaan pada waktu zaman rezim otoritarian berkuasa, saya mengusulkan strategi branding. Menggunakan gerbong KRL sebagai media placement bagi promosi produk-produk.
“Enggak mau. Begini, suatu ketika saya nongkrong bareng Dirut kereta. Gak bakalan terlihat deh! Gerbong terlalu cepat bergerak,” sergah Gustavo menciutkan nyali.
Akhirnya, saya bersusah-susah merakit sebuah rencana bagus tentang ekshibisi, berkaitan dengan perusahaan milik negara. Proyek itu berpotensi meraup keuntungan miliaran. Gustavo senang.
Ia memiliki akses kepada seorang menteri dan petinggi lainnya, katanya. Bermodalkan konsep keren dan koneksi bagus, ia merangkul kawannya sebagai penyandang dana.
Selebriti tersebut menyetor empat ratus juta rupiah. Mencatatkan bahagian empat puluh persen di dalam akta pendirian perusahaan. Sedangkan Gustavo menempati posisi pemegang saham mayoritas. Enam puluh persen!
Tidak sampai setengah tahun, kongsi tersebut bubar. Permodalan tergerus oleh gaji dewan direksi, manajer, dan operasional kantor di kawasan perkantoran elite. Ditambah pembiayaan untuk gaya hidup mewah Gustavo.