Kali ini gaya hidup Gustavo berkembang pesat. Tingkatan pembicaraannya kian tinggi, mencapai kelompok atas yang tidak terjangkau oleh alam pikir saya. Pembicaraan mengenai negara.
Seharian saya berpikir keras, bahkan lebih keras dibanding ketika dalam proses menghasilkan sebuah artikel. Akhirnya, saya berhasil menelurkan gagasan dalam sebuah gambaran singkat. Kerangka pemikiran terdiri dari:
- Fenomena di masyarakat;
- Dukungan Keadaan;
- Realitas yang terjadi;
- Big Picture, yakni kehendak besar Presiden ketika dilantik;
- Hipotesis; Dan
- Konklusi berupa upaya-upaya mesti dilakukan. Ujung akhir merupakan pembentukan suatu lembaga sampiran, sesuai undang-undang berlaku (badan, komite, komisi, dan lain sebagainya).
Konsep tersebut segera saya kirimkan ke nomor telepon Gustavo. Masih contreng ganda berwarna abu-abu. Esok hari ketika ayam jantan berkokok, kendati matahari belum menguapkan embun pada dedaunan, Gustavo menelepon.
“Itu bagus, tapi terlalu umum. Kita perlu memberikan arahan kepada Fauzi. Kita juga mesti menyiapkan kendaraan, semacam komite. Begitu. Usulan kamu terlalu umum.”
Mendengar bahwa konsep saya diremehkan dan direndahkan, aliran darah merambat cepat ke kepala. Telapak, pergelangan, dan keseluruhan lengan kanan bergetar tidak terkendali.
“Itu dibuat berdasarkan kacamata masyarakat biasa. Hal lumrah yang dirasakan oleh man on the street.”
Gustavo menyela, “tapi bukan seperti itu yang diinginkan.”
“Maumu seperti apa?”
“Ya sesuatu yang bisa dibawa ke panel para petinggi politik. Dibuat dalam bahasa sophisticated. Ada komite. Contoh nyata: Jokowi menunjuk Luhut pimpin Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Seperti itu.”
Saya menjawab dengan kata-kata singkat, hmmm, ooh, begitu ya, dan seterusnya. Mengatur napas, berusaha keras meredam emosi, menahan tekanan darah tidak meninggi. Agar tidak kolaps lebih parah.
“Sebentar, sebentar! Jadi, kau tidak semufakat dengan usulan tadi?”