Saya pun pernah sekali “terjerumus” ke dalam suatu kelompok gelap yang berkedok pengajian. Semasa SMP. Dengan promosi menarik, seorang kawan sekolah mengajak saya untuk mengikuti sebuah pengajian.
“Asyik lho, selain lancar melafalkan, kita juga dibuat mengerti arti dari masing-masing ayat.”
Tak butuh waktu lama, saya bergabung dengan kelompok pengajian tersebut.
Sampai sekarang saya masih ingat betul, suasana dan aroma di tempat pengajian. Menempati sebuah rumah di sentra pembuatan tempe, ruangan dalam terasa agak temaram, tapi cukup lumayan untuk membaca. Berhawa pengap, kendati udara luar berangin. Aroma dari bumbu-bumbu dapur menguar tajam.
Rupa-rupanya pemilik rumah, sekaligus guru mengaji kelompok, mencari nafkah dengan cara mengemas bumbu dapur dari kantong-kantong besar ke dalam bungkus-bungkus plastik kecil. Bau tajam lada, ketumbar, dan rempah penyedap terhirup ketika mengaji.
Benar. Dalam pengajian, guru mengenalkan arti dari tiap-tiap ayat. Saya menjadi fasih membaca ayat-ayat suci dan mengetahui sebagian artinya (secara harfiah). Semakin lama kegiatan menjadi kian malam.
Selama bulan Ramadhan, pengajian berlangsung sampai menjelang waktu sahur. Barangkali saat itu orang tua saya bertanya-tanya, tetapi hati saya membeku, pikiran hanya tertuju kepada kelompok.
Akhirnya tiba saat untuk dibaiat. Saya lupa isi pengucapan sumpah setia. Hanya ingat bahwa berjanji setia kepada imam (lupa namanya) sebagai pemimpin utama kelompok itu.
Terdengar berita selentingan, apabila mengingkari baiat, maka pengikut tersebut akan diburu untuk dibunuh. Terinformasi juga, kelompok itu tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Bergerak di bawah tanah, mereka merekrut golongan usia muda.
Sejak saat itu pada masa tertentu, terutama salat Jumat, mutlak harus dilaksanakan di suatu mesjid kelompok yang telah ditentukan. Tidak boleh di masjid lain.
Khatib dalam ceramahnya menyuruh (mendikte) agar laki-laki pengikut yang telah dibaiat memilih wanita dari dalam kelompok saja. Wanita di luar itu haram dinikahi.