Dua sejoli sedang kasmaran menyusuri jalan setapak tersusun dari batu-batu beton berbentuk kotak di tepi bulevar. Sepasang kekasih saling memadu rindu, menumpukan ingatan kepada lalu lalang kendaraan di sekitar.
Pria melingkarkan tangannya ke bahu wanita. Bercerita dengan gegap gempita perihal burung-burung berceloteh, pohon-pohon berjoget, bunga-bunga, cahaya bintang-bintang, senja, dan purnama. Pria berkumis tipis menghamburkan segala rayuan pulau kelapa, demi menyejukkan hati sang wanita yang sedang membara dalam cucuran peluh.
"Capek tau, Kangmas! Dari tadi jalan kaki. Tujuan tak lekas tercapai."
"Sabarlah, Adinda. Sebentar lagi kita tiba."
"Itu pernyataan ketujuh yang aku dengar. Basah baju menempel ke kulit. Kedua tungkai penopang tubuh gemetar."
"Sabar, sabar, Adindaku tersayang."
Sang wanita segera menukas, "sabar memang sabar, tapi kapan beli sepeda motor yang Kangmas ceritakan? Jangan cuma berjanji, seperti janji pembangunan di zaman Orde Baru!"
Sang pria tercenung, melamun. Ingatannya terbang menuju perbincangan dengan kawannya beberapa purnama lalu.
"Masih ada gak ya, ergh ...?"
Sang wanita memenggal lidah, "maksudmu? Motor dengan knalpot telo yang sering kau ceritakan? Kapan? Jangan lama-lama!"
Selanjutnya, gerutuan demi gerutuan merepet dari bibir bergincu merah yang luntur oleh peluh. Bising di sepanjang perjalanan.
***
Sang pria menyerahkan seluruh isi tabungan kepada kawannya, berikut janji bahwa sisanya akan diangsur sekian kali. Taklimat tersebut menjadi penanda penyerahan surat tanda nomor kendaraan dan kunci sepeda motor. Sedangkan buku biru sebagai bukti pemilik kendaraan bermotor ditahan sampai cicilan lunas.
Maka, sang pria secara resmi mengendarai sepeda motor berknalpot telo)*. Tongkrongan bisa diadu dengan motor keluaran terbaru. Antik. Ia sudah tidak diproduksi lagi oleh pabriknya.
Bertipe sport, bermesin dua langkah bersuara nyaring, dengan knalpot standar diganti dengan tipe racing yang lazim disebut "knalpot telo" di kalangan para pembalap liar. Konon, dulu kerap digunakan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan aksi penjambretan.
Akselerasinya cepat. Larinya kencang. Suaranya lantang. Memekakkan telinga.
Sang pria memutar grip gas motor, memacu mesin motor menuju rumah sang wanita, meninggalkan asap putih tipis dari moncong knalpot telo. Tidak sampai sebatang rokok dibakar, ia sudah tiba. Biasanya butuh dua jam, apabila ditempuh dengan berjalan kaki.
"Asyik, kita bisa berjalan-jalan tanpa memboroskan waktu dan keringat," seru sang wanita, girang.
Ia merasa senang, sang pria penuh kasih sayang, perhatian, dan memedulikan keluhannya.
Persoalan tertangani. Kini, dua sejoli pergi ke bulevar, ke tempat roti bakar langganan, ke taman memberi remah-remah kepada burung-burung merpati dan memadu kasih, dengan sepeda motor berknalpot telo.
Suara mesin dua tak menyembur mengiringi perjalanan sepasang muda mudi itu. Nyaring knalpot telo menemani ke mana-mana.
Masalah timbul. Sepasang kekasih tidak dapat bercakap-cakap dengan nada lembut satu sama lain. Saling berteriak, mulut menyemburkan nada keras ke kuping menandingi suara bising.
"Repot nih! Mosok aku harus berteriak setiap hendak menyampaikan sesuatu kepada Kangmas? Pegel tenggorokan!"
"Lha mesti bagaimana lagi?"
Pertengkaran pun tidak dapat dihindari. Suara-suara parau manusia tertelan oleh bising sepeda motor berknalpot telo.
"Ganti knalpot. Atau sekalian ganti motor dengan yang bersuara lembut," seru sang wanita sambil membanting pintu rumah.
Selanjutnya, gerutuan demi gerutuan merepet dari bibir bergincu merah yang luntur oleh keluh. Bising pada sepanjang ingatan.
Terdengar anggota keluarga lainnya mengamini. Menyatakan rasa tidak suka. Para tetangga sekitar juga setuju, terganggu oleh lengking bising.
Demikian pula dengan pemukim di sekitar jalan-jalan dilewati, taman kota, dan semua tempat yang pernah dikunjungi. Seluruh warga kota juga memusuhi sepeda motor berknalpot telo.
***
Dengan menguras isi tabungan, sekali lagi, sang pria membayar uang muka pembelian sebuah motor matik pada suatu dealer. Sisa kewajiban dilunasi melalui skema cicilan ringan selama 4 tahun.
"Tak apa, empat lebaran berhemat demi menyenangkan hati sang pujaan hati."
Betapa girangnya sang wanita ketika melihat motor yang masih kinclong bersuara lembut, tidak akan menjengkelkan keluarga, tetangga, dan warga kota. Tidak akan ada lagi.
Persoalan itu teredam. Paling penting di antara soal penting adalah, ia bisa bercakap-cakap mesra penuh kelembutan kepada kekasihnya, tanpa mengorbankan pita suara.
Sang wanita semakin cinta kepada sang pria yang memberi perhatian-perhatian tulus. Karena itu pulalah, ia bersuka cita manakala sang pria merendahkan badannya, dengan meletakkan satu lutut pada tanah dan menekuk lutut lain, menyerahkan kotak terbuka berisi cincin indah.
"Bersediakah engkau, My Love?"
"I do! I do banget!" Sang wanita menghambur, memeluk erat sang pria yang kemudian mengangkatnya, lalu memutar-mutarkan tubuh mungil itu.
Tahun-tahun berikutnya dipenuhi oleh kebahagiaan. Bertambah-tambah dengan lahirnya momongan.
Sepeda motor berknalpot telo teronggok. Berdebu di balik pintu gudang. Kelopak lampu kuyu dalam balutan tubuh layu. Motor matik membusungkan dada, berlenggak lenggok kemayu menggendong tiga manusia ke segala arah.
***
Seusai memenuhi kewajiban pembayaran cicilan terakhir, sang pria mengurus dokumen kepemilikan. Ia segera melaju, bersiul-siul mengendarai motor bersuara lembut, menuju pusat perdagangan di tengah kota.
Ia merencanakan sesuatu.
Sang pria menjual motor matik demi menghidupkan kembali sepeda motor berknalpot telo.
)* Knalpot telo adalah istilah untuk knalpot racing yang dipasang di bawah mesin sepeda motor dua tak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H