Tidak mungkin! Karena istri saya tidak pernah ke luar rumah. Ia sibuk mengurus cucian, setrikaan, anak-anak menangis, ruang-ruang berantakan, dan potongan sayur mayur berserakan di dapur.
Dengan kesibukannya, maka saya tidak pernah membawanya pergi pakansi, dalam rangka mengurangi urat-urat semakin tumbuh di leher dan merambati wajahnya.
Sejak hilangnya bibir merah, saya malas segera pulang ke rumah, setelah pulang kerja serabutan.
Saya pun kadang berkelana sendiri. Kadang kongkow-kongkow berbual bersama teman lama dan pengangguran di pos ronda.
Semakin kemari frekuensi saya berada di luar rumah kian kerap. Paling sering adalah menghabiskan waktu di sebuah warung.
Setelah menyantap sepiring nasi dengan dadar telur disiram kecap manis, saya menyeruput secangkir kopi sembari memandang senyum Marni. Wanita itu bukan pemilik warung, tapi dipercaya oleh majikannya untuk melayani pengunjung warung.
Satu dua kali saya datang untuk menuntaskan penasaran terhadapnya. Kali ketiga kami saling berkenalan. Kali selanjutnya adalah anjangsana lebih lama dibandingkan pengunjung lainnya.
Saya tidak tahu bagaimana status Marni. Ia adalah wanita menyenangkan. Selalu memancarkan senyum istimewa kepada saya. Bisa jadi itu perasaan berlebihan saya saja.
Saya makin betah berlama-lana dengan Marni, membincangkan segala hal. Adakalanya wanita itu mengungkapkan unek-unek mengenai soal pribadi.
Pengalaman dan kepiawaian saya dalam ihwal nasihat-menasihati membuat wanita itu kerap mengembangkan senyum renyah.
Satu ketika, saking asyiknya, tak terasa hari merambat malam. Tiba saatnya menutup warung nasi. Sebagai gentleman sejati, saya ikut berpeluh mengemasi barang-barang, sebelum menutup pintu.