Dulunya saya dikenal sebagai penggemar berat keindahan bernama senyuman. Petualangan saat bujangan mengisahkan perjumpaan-perjumpaan dengan beragam pemilik senyum menawan.
Saya mudah terangsang oleh tarikan ujung bibir merah pembentuk senyum renyah:
- Reni, gadis berwajah oriental dengan mata cenderung menyipit, tarikan bibir merahnya telah menyeret saya ke rumah kosong.
- Sari, dengan pipi agak terangkat memperlihatkan gigi depan renggang telah membuat tangan saya merayap di balik rok terlalu pendek di kamar kontrakannya.
Pendek kata, setiap rahang terbuka dari gadis-gadis manis yang memperlihatkan ekspresi senyuman renyah pasti menggiring saya melahap bibir merah itu sampai tuntas.
Akan tetapi, akhirnya petualangan saya terhenti. Saya terpenjara dalam senyum renyah seorang gadis manis.
Saya bertekuk lutut kemudian melingkari jari lentiknya dengan sepuluh gram cincin emas delapan belas karat. Akibat senyum melelehkan itu pula, kami beranak tiga dalam tempo kurang dari empat tahun.
Saya memang senantiasa tertawan oleh godaan tatapannya. Tampak sedikit kekanak-kanakan ketika mata lebarnya menyipit, tersipu lalu menunduk sambil memalingkan wajah.
Rona merah semburat pada wajah beningnya membuat saya ingin melindunginya. Memeluk penuh cinta bercampur nafsu, kemudian membopongnya ke atas ranjang. Berulang-ulang menggelorakan gelombang asmara.
Namun kini bibir merah pembentuk senyum renyah itu telah menghilang entah ke mana.
Pagi itu seisi rumah (saya, anak-anak, dan --pastinya-- istri saya) heboh mencari bibir merah yang hilang, berusaha menyingkap dengan segala cara.
Seluruh tempat yang sekiranya biasa digunakan sebagai wadah penyimpanan digeledah. Ember-ember penampung air di kamar mandi ditumpahkan isinya. Tanaman-tanaman ditebang.
Jatuh di rumah saudara? Pasar? Restoran? Tempat wisata? Mal?