Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ternyata Baliho tidak Efektif Menaikkan Elektabilitas

15 Agustus 2021   06:56 Diperbarui: 15 Agustus 2021   07:17 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Baliho dari KOMPAS.COM/PUTRA PRIMA PERDANA

Ramai diberitakan, sejumlah tokoh politik  memasang baliho di berbagai daerah.

Patut diduga, promosi diri secara masif itu merupakan upaya mendongkrak elektabilitas menjelang pilpres 2024. Namun pemasangan baliho oleh politikus di tengah pandemi dianggap gagal mengerek elektabilitas.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, terjadi pergeseran perilaku publik yang lebih memperhatikan aktivitas-aktivitas politikus yang berdampak langsung ke masyarakat, bukan semata promosi via baliho. Baliho dipandang belum efektif untuk menaikkan elektabilitas tokoh (selanjutnya dapat dibaca di kompas.com).

Benarkah demikian?

Dua kawan pemborong melempar peruntungan dalam pemilihan umum legislatif 2014 lalu. Dua-duanya merupakan tokoh politik yang memiliki kantong-kantong suara potensial.

Satu orang, sebutlah namanya Riccardo, merupakan tokoh disegani. Sejak bertahun-tahun sebelumnya, ia aktif di berbagai organisasi dan gerakan kemasyarakatan.

Bukan anggota partai, tetapi ia membentuk relawan di sebuah kota, dalam rangka mendukung pasangan Capres yang kemudian berkuasa selama periode 2004-2009 dan berlanjut pada periode berikutnya. Untuk membiayai gerakan itu, ia rela merogoh saku sendiri, ditambah dana dari donatur yang merupakan relasinya.

Selain itu, ia kerap melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Ada beberapa kegiatan yang, sayangnya, saya tidak ikut terlibat.

Ia dikenal luas karena ketokohan dan kebaikan hatinya. Pintu rumahnya terbuka lebar. Bukan hanya masyarakat yang kerap datang, Bupati, Walikota, Ketua DPRD, Kapolres, Dandim, dan tokoh-tokoh terkemuka berkunjung ke kediamannya.

Dalam pileg 2014, Riccardo diusung oleh sebuah partai besar. Awalnya Riccardo enggan, tetapi sahabatnya yang merupakan Ketua DPC sebuah partai besar itu mendesaknya.

Tanpa banyak baliho dan alat peraga kampanye lainnya pun, Riccardo sudah dikenal luas. Dengan mudah ia memperoleh suara yang mengangkatnya sebagai anggota legislatif.

Sayangnya, Riccardo tidak dikaruniai usia panjang. Jauh sebelum masa jabatannya berakhir, beliau berpulang. Al Fatihah.

Satu kawan lainnya, sebutlah namanya Rudolfo, adalah Ketua DPC sebuah asosiasi yang aktif di berbagai organisasi. Saya mengetahui, bahwa ia menjadi pengurus sebuah ormas, lalu organisasi penggemar Air Soft Gun, dan Ikatan Alumni Sekolah (SD, SMP, empat SMA).

Empat SMA? Rudolfo waktu SMA pindah tempat sekolah empat kali di dalam kota yang sama. Sudah tahu kan kelakuannya?

Organisasi dan kumpulan itulah yang dipercaya sebagai kantong suara. Ia mendaftarkan diri demi menjadi anggota partai agar bisa mencalonkan. Apakah ada setoran atau kompensasi untuk itu, tidak dibahas di artikel ini.

Dengan yakin, ia melaksanakan kampanye, berupa orasi-orasi, konvoi, penyebaran alat peraga (baliho, spanduk, poster, flyers, stiker, umbul-umbul, kaos) ke berbagai daerah pemilihan (dapil).

Semua aktivitas dibiayai dari kocek sendiri. Tanpa sponsor. Saya sempat diminta donasi dengan janji akan dikembalikan dalam bentuk proyek, bila terpilih kelak. Untungnya saya tidak mau.

Saya juga menolak, ketika Rudolfo akan memasang spanduk dan baliho di halaman rumah. Saya menganggap, rumah adalah daerah bebas atribut politik.

Pada saat penghitungan suara, Rudolfo tidak lolos sebagai anggota Dewan. Sekian ratus juta lenyap. Organisasi sebagai sumber suara, baliho dan alat kampanye tidak mendongkrak suara pemilih.

Kesimpulan

Riccardo telah belasan tahun meniti karier politik. Ia merupakan tokoh disegani dan dikenal luas, sebab kebaikan-kebaikan dan kegiatan-kegiatannya berhubungan langsung dengan masyarakat. Ketokohan itu sudah dirintisnya sejak lama.

Sedangkan aktivitas Rudolfo hanya di lingkungan terbatas dan eksklusif, tidak berdampak langsung kepada masyarakat. Kalaupun ia melakukan kegiatan sosial, itu dilakukannya dalam rangka Pileg.

Riccardo memiliki basis suara yang kuat saat pileg. Rudolfo hanya mengandalkan alat kampanye, di antaranya adalah baliho.

Ternyata, baliho, spanduk, poster tidak serta-merta dapat mengangkat ketertarikan publik dalam memilih Rudolfo. Kegiatan dilakukan tokoh seperti Riccardo telah menyentuh hati masyarakat. Itu menjadi basis kuat sumber suara dalam pileg tersebut.

Contoh kasus di atas terjadi di wilayah pemilihan terbatas (dapil tertentu di suatu kota), tetapi hal itu menegaskan dugaan, bahwa pemasangan baliho politikus dianggap tidak efektif dalam menaikkan elektabilitas.

Apalagi dalam situasi krisis selama pandemi.

Catatan: nama-nama di atas adalah rekaan semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun