Ada saatnya bagian-bagian rumah tempat tinggal mesti direnovasi, karena termakan usia. Kegiatan itu akan meliputi pekerjaan: pemeliharaan, perbaikan, perombakan, pembaharuan, dan seterusnya. Tergantung skala kerapuhan/kerusakan bangunan. Juga selera pemilik rumah.
Persoalannya, sering terjadi biaya renovasi membengkak, melampaui anggaran yang disediakan pada awal perencanaan kegiatan. Pusing kepala Barbie.
Masalahnya di mana? Bagaimana memperhitungkan biaya renovasi secara akurat? Bagaimana menyusun panduan atau guideline dalam renovasi rumah?
Sesungguhnya Kementerian PUPR telah menyediakan perhitungan bidang cipta karya, atau pekerjaan berhubungan dengan bangunan, berupa Analisa Satuan Harga Pekerjaan (AHSP).
Di dalam setiap AHSP terdapat hitungan (koefisien) upah tenaga kerja, bahan bangunan, penggunaan alat, dan keuntungan wajar. Sudah baku. Masing-masing AHSP memiliki kode SNI (Standar Nasional Indonesia).
AHSP dipakai untuk merakit Rencana Biaya, atau disebut Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebagai estimasi akurat biaya pembangunan. Setelah timbul kesepakatan dengan penerima pekerjaan, maka HPS dihitung ulang dan menjadi Daftar Kuantitas dan Harga (DKH) Pekerjaan.
Njlimet kan? Benar, HPS atau DKH dibuat oleh engineer bangunan yang berpengalaman.
Ia harus memahami: harga bangunan, sewa alat, dan upah tenaga kerja (pekerjaan, tukang, mandor) setempat. Juga mampu mengukur dimensi bagian-bagian bangunan yang akan dikerjakan secara akurat. Satu persatu.
Bagi yang awam dalam dunia konstruksi, penghitungan itu adalah upaya melelahkan. Alternatifnya adalah membuat perkiraan wajar dan bersifat umum. Tidak sangat akurat, tetapi ia merupakan patokan anggaran agar realisasi biaya tidak meledak pada akhir pekerjaan.
Perkiraan biaya yang dapat digunakan sebagai alat pengontrol atau guideline akan mencakup: penetapan skala pekerjaan, bahan, dan upah.
Penetapan Skala Pekerjaan
Buat daftar pekerjaan yang akan dilakukan, agar ada pembatasan waktu dan --tentunya-- biaya renovasi. Dalam banyak kasus, awalnya adalah mengecat ulang di dinding rumah, berakhir kepada penambahan ruang, lalu ganti pintu garasi, lalu bongkar pagar, dan seterusnya.
Penyakit klasik itu adalah merasa "gatel" bila bagian lain tidak disentuh renovasi. Kadang disebut sebagai renovasi tiada akhir.
Tarik napas. Tentukan prioritas sampai mana pekerjaan akan berakhir. Kalau memang terlalu banyak, alangkah baiknya untuk merobohkannya dan membangun ulang dari nol.
Menakar Kebutuhan Bahan
Kebutuhan bahan utama secara global dapat didiskusikan dengan penerima pekerjaan (kepala tukang, pemborong). Harga-harganya dapat disurvei ke "supermarket" bahan bangunan. Semakin detil informasi, semakin akurat pula perkiraan biaya bahan.
Memilih Sifat Upah
Umumnya pekerja, tukang, mandor dibayar harian, di mana pengawas harus memaksimalkan waktu bekerja. Ia harus memiliki pemahaman cukup dalam mengawasi pekerjaan bangunan. Dengan itu perencanaan dan kualitas hasil pekerjaan bisa dikontrol. Namun bila pengawasan lemah, siap-siap saja menghadapi pembengkakan biaya upah.
Pilihan lain adalah sistem upah borongan, di mana ada patokan-patokannya memberikan ruang untuk negosiasi harga. Tukang memberi penawaran borongan tenaga, sedangkan pemilik menyediakan bahan-bahannya.
Memilih tukang borongan juga mesti cermat. Biasanya mereka diperoleh karena langganan, rekomendasi dari kenalan, atau kita sudah mengenal kualitasnya.
Patut diingat, ada tukang juga yang cenderung kerja cepat, boros bahan, dengan mutu hasil kerja mengecewakan.Â
Maka terdapat dua jenis upah borongan, sebagai berikut: Â
1. Upah Borongan per-Meter Pekerjaan
Upah borongan biasanya digunakan untuk pekerjaan dengan jumlah item banyak, rumit, dan membutuhkan waktu lama.
Sebelum negosiasi, dipastikan kita terlebih dahulu mengetahui: lama pekerjaan, jumlah tukang dan tingkat keahlian diperlukan berserta harga upah masing-masing tukang.
Rumusnya sederhana, yaitu:
Harga Borong = (Lama Pekerjaan x Upah Total) + Perkiraan Keuntungan yang akan diambil.
2. Upah Borongan per-Bagian
Upah borongan semacam ini digunakan untuk pekerjaan yang relatif sedikit dan mudah diukur oleh orang awam. Kadang disebut juga sebagai upah borongan per-parameter. Tukang memborongkan tenaga, pemilik menyediakan bahan-bahannya. Tinggal disepakati apakah diukur dengan sistem meter lari (menghitung panjang saja, mengabaikan lebar) atau meter persegi.
Sebelum pekerjaan, bidang yang akan dikerjakan dapat diukur, sehingga perkiraan biaya dapat dibuat. Setelah selesai, hasil pekerjaan dapat diukur-ulang secara bersama, atau dikenal sebagai Mutual Check (MC).
Sebagai contoh, berikut disampaikan tabel harga upah borongan per-parameter yang disarikan dari berbagai sumber.Â
Catatan: harga-harga tercantum bukan patokan dan akan berbeda pada setiap daerah.
Kesimpulan
Ada baiknya renovasi, pemeliharaan, perbaikan rumah tempat tinggal ditentukan skala pekerjaan dan diketahui lebih dahulu perkiraan biayanya. Estimasi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, dari mulai yang sederhana sampai dengan yang membutuhkan keahlian teknik tertentu.
Bagi kita yang awam dalam dunia konstruksi bangunan, dapat melakukan perhitungan dengan pendekatan borongan.
Dalam kasus terkini, saya menggunakan upah borongan tenaga saja. Sedangkan bahan-bahan kebutuhan secara global dapat disurvei ke toko bangunan. Kebutuhan bahan dirundingkan dengan tukang.
Jumlah harga borongan tenaga disepakati ditambah perkiraan harga bahan merupakan guideline dalam mengendalikan biaya renovasi rumah. Jangan sampai biaya tidak terkontrol lalu meledak, jauh melampaui perkiraan awal.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H