Lingkungan kerja toksik tidak hanya ada di suatu perusahaan saja, tetapi bisa saja di asosiasi yang terdiri dari banyak entitas usaha serupa. Ketika lingkungan kerja toksik di asosiasi resmi menjadi jalan buntu menuju kemajuan, beberapa anggota lantas membentuk asosiasi non asosiasi. Lah, kok begitu?
Asosiasi di sini dipahami sebagai gabungan dari beberapa profesi atau usaha yang memiliki kepentingan sama. Asosiasi konstruksi di suatu kota/kabupaten (DPC) dibentuk berdasarkan mandat dari dewan pengurus di tingkat provinsi (DPD). Lembaga DPD pun dibentuk berdasarkan amanat dari pengurus nasional (DPP).
Persekutuan tersebut menampung perusahaan bidang konstruksi, dari entitas berskala kecil sampai besar, yang diatur dalam AD/ART. Perkumpulan melegitimasi anggota dalam mengurus Sertifikat Badan Usaha (SBU).
SBU bersama dokumen lain menjadi syarat bagi pengurusan Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK). Izin itu membuat sebuah perusahaan eligible mendapatkan pekerjaan dari pemerintah.
Jadi, agar sebuah perusahaan layak berkompetisi untuk memperoleh proyek pemerintah, ia terlebih dahulu harus menjadi anggota suatu asosiasi resmi.
Selain itu, AD/ART menyiratkan suasana kerja sama, saling dukung, dan Silih Asah Silih Asih Silih Asuh di antara anggota. Pengurus memberikan lingkungan yang kondusif agar anggota mendapatkan pekerjaan. Para senior berbagi pengalaman kepada anggota baru.
Dengan itu asosiasi juga mencerminkan lingkungan kerja, di mana para anggota pada waktu tertentu berkumpul untuk meningkatkan produksi. Suasana sehari-hari mirip dengan suasana kantor biasa. Tidak banyak perbedaan.
Asosiasi memperoleh pendapatan dari iuran anggota, jasa pengurusan SBU, dan lain-lain. Pemasukan besar lainnya adalah kontribusi sebesar 0,5-1 persen dari nilai proyek diperoleh anggota. Basanya proyek tersebut atas arahan asosiasi.
Dengan demikian, arahan dan lingkungan kerja asosiasi yang bagus akan mendorong produktivitas anggota. Pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan asosiasi nirlaba itu.
Pada pokoknya, harapan besar bagi anggota baru ketika bergabung adalah tersedianya ruang untuk memetik ilmu praktis dan kesempatan memperoleh pekerjaan (proyek Pemda) dari para pengurus, yang notabene adalah pengusaha senior.
Jauh panggang dari api! Tidak seperti yang diharapkan
Sekian belas tahun lalu, saya "terpaksa" membuat perusahaan kecil. Pendirian itu didorong oleh ambisi seorang teman yang juga senior dan wakil ketua asosiasi di suatu kabupaten. Tidak hanya saya saja, tapi beberapa teman direkrut sebagai anggota baru. Jumlahnya cukup banyak.
Tujuannya agar para anggota baru memberikan hak suara bagi yang bersangkutan sebagai ketua umum pada Musyawarah Cabang mendatang.
Saat merekrut, "Janji Pembangunan" yang disampaikan adalah memberikan bimbingan; Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh; dan kesempatan memperoleh "jatah" proyek manakala ia sudah terpilih. Mirip dengan mulut berbusa nan berbisa caleg saat kampanye.
Singkat kata, selama dua tahun awal bergabung dengan asosiasi tersebut, lingkungan kondusif hanya cerita yang menjadi angan-angan. Saya menonton sikap saling sikut antar para senior. Saya menjadi pendengar nada saling menjelekkan satu sama lain. Kadang timbul friksi. Gesekan di antara sesama anggota.
Harapan punah. Saya dan anggota baru lainnya terperangkap di dalam lingkungan kerja toksik.
Bertumpu kepada kenyataan itu, sebagian anggota baru mengadakan pertemuan di luar kantor asosiasi. Menyadari bahwa anak baru tidak akan mampu mengubah lingkungan kerja toksik dalam waktu singkat, maka kami bersepakat untuk mencari "makan" dengan gaya sendiri.
Tidak lagi bergantung kepada asosiasi, selain untuk perpanjangan keanggotaan dan SBU. Tidak keluar, tapi memanfaatkan asosiasi sebagai "tukang stempel" saja.
Hasilnya? Dibentuk suatu gabungan pengusaha konstruksi skala kecil dari berbagai kota. Selain dari Bogor, tergabung perusahaan/pengusaha dari Jakarta, Bandung, Semarang, dan Jogjakarta.
Kelebihan dari gabungan, saya menyebutnya sebagai asosiasi non-asosiasi itu adalah:
- Gabungan permodalan menjadikan perkumpulan lebih kuat.
- Akses kepada proyek lebih luas, tidak melulu bertumpu kepada Pemda.
- Memiliki sumber daya yang besar.
- Pembagian keuntungan secara transparan.
- Tujuan sama dan bernasib serupa menjadi ikatan, meski keanggotaan tidak diatur secara tertulis.
Dengan "asosiasi non-asosiasi" itu kami bekerja, saling membimbing, dan saling mengisi dalam mendapatkan proyek.
Dalam tempo kurang dari tiga bulan, diperoleh sejumlah proyek dari berbagai instansi pemerintah dan swasta. Tercatat, total nilai kotor (belum dipotong pajak-pajak) sekitar Rp 4 miliar. Perolehan tersebut berkembang pada periode berikutnya.
Pengetahuan mengelola proyek berkembang pesat dalam waktu singkat. Ilmu yang tidak bakal diperoleh, kendati saya nongkrong bertahun-tahun di kantor asosiasi. Pengalaman dan, tentu saja, pendapatan terbanyak didapatkan dari keterlibatan dalam kegiatan asosiasi non-asosiasi.
Datang ke asosiasi resmi hanya ketika ada rapat besar atau perpanjangan keanggotaan dan SBU. Pada saat-saat itu, saya memberikan kontribusi seperlunya. Benar-benar menjadikan asosiasi resmi sebagai "tukang stempel."
Begitulah alasan bagi saya membentuk dan kemudian aktif dalam asosiasi non-asosiasi.
Pelajaran yang ditarik dari cerita di atas, agar kita tidak terlampau terlibat dalam gesekan sesama anggota. Jangan biarkan diri kita terperangkap di dalam lingkungan kerja toksik. Demi menghindarinya, membuat asosiasi non-asosiasi merupakan cara bagus. Ia juga menghasilkan nilai lebih dibandingkan berada di asosiasi resmi.
Bagaimana jika berada di lingkungan perusahaan yang mengikat pegawai?
Mau tidak mau, karyawan kembali menaruh perhatian penuh kepada job description, dengan mengabaikan persuasi lingkungan kerja toksik.
Lingkungan kerja toksik senantiasa ada di mana pun dunia kerja (worklife) berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H