Nilai yang fantastis! Mata mendelik kepada layar. Meski tidak tertulis pada kertas, bola mata tidak salah menilik: enam nol nol nol satu nol nol nol nol nol.
Tiga hari lalu tersisa tiga ratus ribu. Dengan penarikan dua ratus ribu pagi ini, mestinya tinggalan baki debit adalah seratus ribu. Lha kok pada monitor mesin tampak berderet sepuluh angka.
Dua kali pencet menu cek saldo, deretan angka tidak berubah. Periksa lagi, lagi dan sekali lagi, angka enam masih diikuti oleh tiga buah nol, lalu bilangan satu yang dibuntuti oleh angka nol lima kali.
Isi rongga dada meletup-letup. Saya menarik kartu debit. Membuka pintu kaca. Sepuluh langkah kemudian saya berhenti. Membalikkan badan. Menatap ruang kecil berisi mesin penyedia uang.
Perlahan rasa tak percaya berjingkat dan pikiran gembira berjingkrak, berdesakan, berlomba-lomba hendak mangkat dari jiwa saya.
Pikiran melayang-layang, namun saya tidak juga berhasil menyimpulkan apa-apa. Bahkan mimpi paling absurd sekali pun tidak mampu menerangkan penambahan saldo rekening.
Tangan saya merogoh kantong celana. Dari wadah karton persegi, tangan menarik sebatang penenang pikiran. Gemetar. Badan bergetar. Pikiran berpendar. Mata kosong menatap nanar.
Lantas, jemari menjentikkan silinder putih yang belum sempat terbakar ke dalam silinder baja mengkilap yang atasnya menganga.
Saya mengenakan helm, lalu menendang tuas, menyalakan ruang bakar.
Ah, sudah lama tombol di setang ini tidak berfungsi. Saya belum sempat, tepatnya merasa sayang menggunakan uang untuk membeli baterai (aki). Terlalu banyak daftar barang yang mesti didahulukan untuk dibeli.
Sekarang, ada satu tempat penting yang dituju untuk mendapatkan kepastian.
***
"Benar? Tidak ada keterangan lain. Pemberitahuan atau klaim dari pihak lain?"
Semerbak meruap dari tubuh yang tersenyum manis. Senyum dari senyum paling manis yang pernah saya temui dalam hidup.
"Sesuai dengan yang tercetak. Tidak lebih, tidak kurang. Kode transaksi menyatakan kiriman dari bank lain. Itu saja."
Saya menghempaskan punggung kepada punggung kursi. Perlahan mengeluarkan udara dari dada, membalas senyuman dengan senyum paling manis yang pernah saya ciptakan.
Enam nol nol nol satu nol nol nol nol nol terkonfirmasi.
Di halaman parkir saya mengendalikan gejolak emosi agar mampu berpikir jernih.
Saya harus bijak dalam mengelola uang jatuh dari langit. Sebagian digunakan untuk mendukung penampilan sesuai kemakmuran baru. Bagian terbesar sisanya ditanam dalam bentuk deposito. Cukuplah bunganya untuk membiayai keperluan sehari-hari.
Sebentar. Timbul rasa iba, ketika melihat keadaan sepeda motor. Saya akan membelikan sebuah aki, merehabilitasi, menyervis besar-besaran, dan mempercantik tampilannya dengan aksesoris.
Tidak, tidak. Tidak demikian!
Lebih baik saya memasrahkan kepada teman yang membutuhkan. Lalu saya membeli mobil baru. Kepalang tanggung.
Ya. Membeli mobil gres dari diler. Sedan? Bagus juga, sedan mewakili penampilan orang kaya. Eh, tapi sedan akan kesulitan melewati jalan meliuk, berlubang, dan berbatu ketika dibawa mudik.
Jangan. Kalau begitu jangan. SUV mewah saja yang memiliki ground clearance dan kemampuan menjelajahi berbagai medan. Tidak terlalu mahal. Dengan 300 juta sudah mendapatkan SUV dari merek terkenal.
Kemudian angan saya terlempar kepada tempat tinggal mungil yang berada di dalam gang.
Sebentar. Timbul rasa iba, ketika mengingat keadaan rumah yang nyaris runtuh. Baiknya saya segera merenovasi dan mempercantiknya.
Tidak, tidak. Tidak demikian!
Lebih baik saya menjualnya, mengganti dengan rumah di perumahan semi real estate. Hunian nyaman yang bercerita tentang peningkatan derajat. Saya rasa, 300-400 juta cukup untuk menebus tempat tinggal semacam itu.
Enam nol nol nol satu nol nol nol nol nol lebih baik dikelola dengan penuh kehati-hatian.
***
"Pah, kenapa pulang cepat?"
"Saya, saya..."
"Kenapa telepon tidak diangkat? Tadi orang kantor menelepon. Marah-marah."
"Ergh, tadi..."
"Bolos ya? Ke mana saja? Bagaimana kalau dipecat, hah? Mikiiir...!"
Saya menghela napas, mengingat istri saya selama ini demikian setia menemani dalam kesulitan hidup, sehingga membuat kerut wajahnya tambah kusut dan tampak tua.
Sebentar. Timbul rasa iba, mengingat kesetiaan istri saya. Saya berjanji akan membelikannya kosmetik buatan Amerika dan Korea untuk membuatnya cerah, ceria, dan cantik.
Tidak, tidak. Tidak demikian!
Lebih baik...
Enam nol nol nol satu nol nol nol nol nol adalah jumlah sangat cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H