Tikus-tikus berpesta-pora. Tikus-tikus merajalela. Tikus-tikus itu pula yang menyebabkan Kepala Desa murka. Pulang tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Tubuh rebah. Jiwa gelisah. Berapa hari belakangan pria berkacamata sulit berdamai dengan kasur. Suara-suara di dapur berguncang membentur isi kepala. Membuatnya kesulitan memejamkan mata barang sejenak.
Kelelahan, ia tertidur. Sejenak. Bayang-bayang gentayangan di dalam benak. Fragmen berkejaran tak tamat.
Maka di antara waktu-waktu sulit tidur, ia pun menyusuri malam. Menjelajahi ruang muram tempat kompor, peralatan masak, piring, dan gelas bersemayam.
Tiada jejak maupun cicit cericit berlarian. Hanya ada tumpahan minyak goreng, potongan sayur dan makanan sisa gerombolan tikus. Meninggalkan bau bacin menyengat.
Rupanya ketika malam, tikus-tikus berlarian, bersenang-senang, berpesta pora, sambil kencing menandai wilayah.
Oleh karena itu, pria berkacamata memindahkan bahan makanan ke ruang tengah. Di antara ruang itu dan dapur ada pintu kayu yang dapat dikunci.
Malam itu pria berkacamata dengan istrinya tidak perlu mengkhawatirkan barang sesuatu, kendati terdengar suara-suara gaduh garukan cakar dan taring menggigit pada pintu kayu dan langit-langit dapur. Gerombolan hewan berbulu hitam itu kehilangan sumber makanan.
Sebagian besar diselamatkan di ruang tengah. Sebagian lagi di dapur, disimpan di dalam wadah plastik tertutup rapat. Semisal beras, mi instan, dan bahan kering lainnya.
Akhirnya, pada malam itu pria berkacamata bersama istrinya berhasil tidur nyenyak dengan saling memagut hingga sinar pagi menembus tirai.
"Pah, dinding pintu kayu dikerikiti)*. Juga kusen."
Maka pria berkacamata pergi ke gudang, mengambil seng, dan memotongnya sedemikian rupa. Kemudian dengan paku, lembaran tersebut direkatkan pada bagian bawah kusen dan pintu. Dengan itu, diperkirakan gigi dan cakar para tikus tidak akan mempan pada saat mengerikiti kusen dan pintu.
Setelah beres, pria berkacamata duduk di teras sambil menikmati kopi sambil menghembuskan asap putih dari mulutnya. Ia menunggu kedatangan karibnya, yang pada saat ini menjabat sebagai Kepala Desa.
Betapa beruntungnya kawan satu itu. Selain memang pandai bergaul, berpendidikan tinggi, juga memiliki kecukupan harta untuk berkompetisi dalam Pilkades, beberapa waktu lalu.
Pria berkacamata itu tidak tahu persis berapa uang dihabiskan dalam rangka kontestasi tersebut. Dengar-dengar sih, setara dengan pembelian dua mobil SUV baru.
Tidak berapa lama, karibnya datang dengan membawa setandan pisang dan berkas.
"Mah, buatkan kopi untuk Pak Kades!"
Dua sobat berbincang-bincang dengan asyik. Tentang segala ingatan dan kenangan. Gelak tawa membahana di tengah kepulan asap putih.
Sampailah kepada saat, di mana Kepala Desa mengutarakan maksud sesungguhnya dari kedatangannya. Ia menunjukkan tulisan-tulisan dalam berkas kepada pria berkacamata. Tangannya menggaruk-garuk, mencakar huruf-huruf agar merasuk ke dalam pikiran pria berkacamata.
"Keuntungan dibagi dua, untuk kamu dan aku."
Pria berkacamata dengan berat hati menanggapi. Nuraninya menolak rencana tersebut.
"Tapi, aku ...."
"Tidak usah tapi-tapian. Gampang. Kamu hanya perlu mengganti beras raskin dengan beras berharga lebih murah."
"Perbuatan demikian tidak dibenarkan, karena ...."
"Mumpung aku masih berkuasa. Lima tahun lho, dengan opsi dua kali jabatan. Lagi pula pengeluaran terdahulu mesti kembali."
"Tapi ...."
Percakapan selanjutnya diwarnai dengan perdebatan, dua karib itu saling berargumentasi. Wajah-wajah memerah menampilkan urat-urat leher keluar, semakin mengeras.
Dalam situasi tegang, istri pria berkacamata keluar membawa segelas kopi mengepul.
"Maaf, agak lama. Bubuk kopi dan gula harus diseleksi."
"Kenapa?" Pria berkacamata heran.
"Tikus-tikus mengerikiti wadah kopi dan gula. Geroak. Sebagian besar isinya berhamburan."
"Barang lainnya?"
"Ya termasuk wadah beras. Berantakan."
Pria berkacamata tersenyum. Melirik karibnya yang manyun.
"Wah, rupa-rupanya tikus-tikus kelaparan. Mereka mengerikiti, menggerogoti, dan merampok kekayaan kami. Beras yang disimpan dalam wadah tertutup pun diembatnya. Serakah! Aku tidak ingin menjadi tikus-tikus."
Wajah sang karib memerah. Memendam amarah. Kepala Desa murka. Pulang tanpa mengeluarkan sepatah kata dengan hati penuh serapah.
)* dikerikiti: digigit sedikit demi sedikit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H