Cerewet terus-menerus dengan suara nyaring yang bising, membuat kuping berdenging, kepala pusing. Cerewet itu genetik. Cerewet semacam itu harus dibina. Maksud saya: dibinasakan.
Seekor kucing betina yang berasal dari antah berantah tiga kali sehari datang ke rumah. Pagi. Siang. Malam.
Setiap saya mulai sarapan, kucing abu-abu putih mengeong-ngeong. Saat sedang makan siang, ia mengeluarkan suara nyaring. Makan malam pun demikian, hewan berekor panjang itu merengek-rengek dari balik pintu.
Bukan pintu tertutup yang terbuat dari panel kayu penuh, tetapi pintu expanda. Pintu berjaring anti nyamuk supaya di antaranya angin menembus masuk ke dalam rumah.
Saat sendok garpu beradu dengan piring, hewan berkaki empat itu mengeong. Saat saya menutup pintu kulkas, ia mengeong nyaring. Jadi, setiap ada pergerakan manusia, ia mengeong-ngeong terus-menerus dengan suara bising. Membuat kuping berdenging, kepala pusing. Itulah kucing cerewet, yang celakanya, betah berdiam diri di rumah.
Di sisi lain, rasanya tidak tega bila membiarkannya begitu saja. Suka taksuka, mau takmau, saya harus menyisihkan kepala ikan beserta tulangnya dicampur nasi sebagai menu makannya. Ada saat-saat saya tidak makan ikan, sehingga saya perlu mengadakan ikan pindang atau tongkol, agar kucing tidak semakin cerewet minta makan.
Saya tidak perlu memberinya nama. Tanpa dipanggil pun ia datang dengan suara nyaring, bising, membuat kuping berdenging, kepala pusing.
Ada waktunya kucing betina itu beranak. Dari empat anaknya, hanya satu ekor yang bertahan hidup. Imut dan lucu juga, meskipun saya tidak pernah memegangnya. Induknya demikian terlalu protektif kepada anaknya.
Semakin besar, semakin terlihat penampilan anaknya persis sama dengan sang induk. Berwarna abu-abu putih dan berekor panjang.
Berita baiknya, anak kucing itu berkelamin jantan. Potensi keluarga kucing untuk beranak-pinak di rumah saya pupus sudah. Berita buruknya, kucing itu mewarisi sifat induknya: cerewet!
Maka, dua ekor kucing mengeong-ngeong terus-menerus dengan suara nyaring yang bising, membuat kuping berdenging, kepala pusing.
Anak kucing semakin dewasa semakin arogan. Kucing-kucing petualang lain yang menghampiri diusirnya dengan lengkingan, sesekali ditampar dengan cakarnya.
Paling terakhir, mencermati keangkuhan sang anak di wilayah kekuasaan, induknya menyingkir entah ke mana.
Badannya yang besar membuatnya semakin arogan. Ia mendeklarasikan diri sebagai pengusaha tunggal koloni di luar pintu expanda. Demi mempermaklumkan teritori, ia mengencinginya. Sekaligus menjadikannya sebagai tempat berdaulat baginya untuk membuang hajat.
Agar bau menyengat tidak mengalir bersama angin melalui pintu expanda , saya harus sering-sering menyiram dengan air dan juga menggali lubang untuk memendam kotoran itu.
Rupa-rupanya kucing abu-abu berekor panjang yang cerewet itu sudah lupa dengan kebudayaannya untuk memendam sampah dari perut.
Ditambah, ia tetap mempertahankan kebiasaan mengeong-ngeong terus-menerus dengan suara nyaring yang bising, membuat kuping berdenging, kepala pusing.
Setiap saya sarapan, bersantap siang, makan malam, menutup pintu kulkas, dan mengeluarkan bunyi ketika bergerak, kucing jantan berwarna abu-abu putih berekor panjang otomatis mengeong. Terus-menerus dengan suara nyaring yang bising, membuat kuping berdenging, kepala pusing.
Saya berpikir, tiada jalan lebih baik daripada menyingkirkannya. Suatu malam saya mengenakan sarung. Mengendap-endap ke belakang, menyergap, lalu memasukkannya ke dalam karung. Setelah itu saya mengendarai sepeda motor menuju tempat yang lumayan jauh.
Malam itu aman sentosa. Tidak terdengar suara apa-apa. Sunyi.
Keesokan paginya, seperti biasa saya sarapan. Sendok menggaruk nasi goreng. Sejenak beradu dengan piring, maka seketika itu juga terdengar dari balik pintu expanda suara mengeong-ngeong terus-menerus, nyaring yang bising, membuat kuping berdenging, kepala pusing.
"Bah! Dia kembali rupa-rupanya."
Baiklah, saya punya rencana paling pamungkas agar segalanya menjadi tuntas. Sebelum melaksanakannya, saya terlebih dahulu melakukan hal lain.
Suatu sore, pada sebuah batu persegi yang basah saya mengasah pisau agar tajam setajam-tajamnya. Demikian, agar selembar kertas HVS yang sedang melayang-layang di udara dijamin terpotong sempurna oleh pisau dapur itu.
Kemudian saya merealisasikan rancangan di dalam kepala. Mewujudkan rencana tindakan dengan sempurna. Setelah itu, saya mencuci tangan sebersih-bersihnya dengan cermat. Keramik putih wastafel memerah.
Maka, selesai sudah perkara pembuat sakit kepala. Saya pun kembali kepada kehidupan damai
Tiada lagi suara mengeong-ngeong terus-menerus dengan suara nyaring yang bising, membuat kuping berdenging, kepala pusing, pada saat menikmati sarapan, santap siang, makan malam, maupun ketika membuka pintu kulkas.
Tenteram. Damai. Sentosa. Sunyi.
"Pah, uang BLT sudah hampir habis. Coba urus lagi!"
"Susah, Mah ...."
"Makanya. Jadi laki-laki tuh jangan di rumah saja. Sudah beberapa lama ini? Pergi cari kerja, kek! Pokoknya pulang bawa duit!"
"Tapi situasi pandemi begini ...."
"Tidak ada tapi-tapian. Usaha sana!"
Selama berhari-hari gugatan itu meluncur demikian nyaring, bising, membuat kuping berdenging, lalu kepala pusing.
Demi menyelesaikan persoalan itu, suatu sore saya ke belakang mengambil batu persegi basah.
Mengasah pisau agar menjadi tajam setajam-tajamnya. Demikian, agar selembar kertas HVS yang sedang melayang-layang di udara dijamin terpotong sempurna oleh pisau dapur itu.
Catatan: artikel ini sudah ditayangkan di secangkirkopibersama.com dengan beberapa perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H