Pada sekitar tahun 2000-an, akhir Jumat adalah waktu ditunggu-tunggu. Bukan karena besoknya libur. Tetapi bagi sebagian orang di Jakarta, Jumat malam adalah "hari selingkuh nasional".
Sebagian orang menghabiskan hari Jumat sampai dini hari. Kafe, Bar, Club, diskotik, dan tempat hiburan sejenis menjadi tujuan. Tempat tersebut menyediakan musik hidup dan/atau penampilan disc jockey (DJ) serta minuman beralkohol (minol), selain makanan.
Sex, Drugs, and Rock 'n' Roll
Frasa "sex, drugs and rock ('n' roll)" ditemukan dalam sebuah artikel di majalah Life, terbitan tahun 1969, sebut  ajournalofmusicalthings.com. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan keterkaitan di antara komponen tersebut.
Aroma sex (d.h.i. perselingkuhan), drugs (obat-obatan, narkotika, dan zat adiktif lainnya), dan rock 'n' roll (simbolisasi dari musik dansa), menjadi kombinasi pemicu konsumsi drugs (seperti amphetamine, Ecstasy) termasuk minol.
Konon, sekali pengaruh drugs berkembang, maka urusan ranjang semakin dekat.
Ambiens Kafe, Bar, Club Berbeda dengan Diskotik
Di kafe, ketukan irama musik hidup dan DJ dijaga tidak melebihi 130 BPM (beat per minute). Maka live music, light house, trance, EDM membangkitkan suasana yang cocok konsumsi minol bagi pengunjung.
Sedangkan diskotik akan menggeber soundsystem-nya sekencang-kencangnya dengan ketukan musik di atas 130 BPM. Suasana itu tidak sesuai dengan minol, namun cocok bagi penggemar Ecstasy dan zat amphetamine.
Tumpulnya Penegakan Hukum
Kafe, bar, club, diskotik adalah tempat penjualan minol berdasarkan izin resmi. Bea Cukai juga melakukan pemeriksaan, memastikan bahwa minol yang dijual diperoleh dari sumber-sumber resmi, bukan selundupan. Barang resmi berpitacukai (seperti pada kotak rokok), melekat pada leher botol minuman.
Terkadang ada pengelola nakal, membeli minol dari pasar gelap (BM: black market, istilah untuk barang selundupan) kemudian merekatkan sendiri pita cukai pada leher botolnya. Persediaan minuman dicampur, Fifty-Fifty antara BM dengan yang resmi, untuk menghindari bila petugas memeriksa pembelian.
Pita cukai yang direkatkan sendiri itu diperoleh dari sindikat yang melibatkan oknum.
Di sebuah kota dekat Jakarta, penjualan minol hanya boleh dilakukan, minimal, di hotel bintang empat. Kenyataannya, minol dengan mudah dapat ditemukan di kafe-kafe. Tentunya tanpa izin menjual minol. Diduga terjadi persekongkolan dengan oknum aparat. Tetapi hal ini sulit dibuktikan.
Ketika Saya sedang mengerjakan proyek, di sebuah desa terdapat bandar minuman oplosan, dengan pembeli remaja-remaja tanggung. Pelanggannya banyak, termasuk gadis-gadis berseragam SMP. Harganya dipatok antara Rp15 - 25 ribu untuk 600 mm minol (2016).
Saya tanya ke bandarnya, Pak Tri, "tidak takut digrebek aparat? Padahal berada tidak jauh dari kantor penegak hukum."
Pak Tri tertawa terbahak-bahak, sambil mengangkat gelasnya. Bersulang.
Di desa sebelahnya, sama juga. Di antara rumah-rumah warga terdapat penyedia minol oplosan dan juga wanita esek-esek diiringi musik bersuara keras.
Melambung ke pusat sebuah kabupaten terkaya di Jawa Barat, ada Nyonya L yang menguasai perdagangan besar minuman keras (miras). Tokonya memang tertutup, karena waktu itu ada isu (2018) pembatasan peredaran miras. Pengedarnya akan mendapat sangsi hukum.
Namun bisnis air api tersebut tetap berlangsung. Nyonya L melayani pelanggannya, yang merupakan warung-warung penjual miras, di rumah yang berada di belakang tokonya.
RUU Larangan Minuman Beralkohol
RUU tersebut dibahas di Badan Legislasi DPR yang berisi larangan bagi setiap orang memproduksi, mengedarkan, menyimpan, dan menjual minol. Pelanggaran (ketentuan pidana Bab VI) akan dipidana penjara 2 - 10 tahun atau denda Rp200 juta sampai Rp1 miliar. Bagi masyarakat yang mengonsumsinya dikenakan pidana penjara 3 bulan sampai dengan 2 tahun atau denda Rp10 - Rp50 juta
Kecuali menyangkut keperluan adat, ritual, wisatawan, farmasi dan tempat-tempat yang diizinkan berdasarkan peraturan.
Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah, sebagai berikut:
- Minuman beralkohol akan saling pengaruh mempengaruhi dengan jenis musik tertentu dan kemudian perselingkuhan. Di sebagian kota besar ia sudah menjadi gaya hidup.
- Minuman beralkohol berurusan dengan perputaran uang, di dalamnya terkait oknum-oknum yang turut melestarikan perkeliruan dalam peredarannya. Di daerah tertentu, terkesan bahwa aparat "tutup mata", sehingga minol beredar bebas bahkan di sekitar pemukiman. Konsumennya siapa saja, termasuk generasi penerus bangsa.
- Diduga di dalamnya terbuka "ruang negosiasi" Â antara pengecer/pengoplos ilegal dengan oknum. Hal tersebut menggambarkan tumpulnya penegakan hukum atas peredaran minol.
Dengan demikian, mengatasi persoalan penegakan hukum atas peredaran minol adalah hal yang paling mendesak, bukan semata membahas RUU Minuman Beralkohol.
Jangan sampai, kelak, ancaman sanksi pidana menjadi ruang negoisasi antara pelanggar ketentuan Larangan Minuman Beralkohol dengan oknum penegak hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H