Ketergantungan kepada impor kedelai membuat bangsa tempe...eh.. penggemar tempe itu rentan terhadap kenaikan harga. Isu kegagalan panen di Amerika dan Eropa bisa menyebabkan lonjakan harga kedelai di dalam negeri menjadi dua kali lipat, seperti yang terjadi di tahun 2008.
Sedangkan kebutuhan kedelai berkisar 2,5 ton atau lebih dalam setahun yang sebagian terbesar diperoleh dari impor.
Untuk itu, pada panen kedelai di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), hari Rabu (4/11/2020) lalu, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, menyebutkan bahwa penyediaan kedelai sebagai sumber pangan bergizi sangatlah penting.
"Untuk 273 juta penduduk Indonesia, kita harus produksi sebanyak-banyaknya, dan kebutuhan kedelai itu 2 sampai 3 juta ton. Sekarang kita banyak dipenuhi oleh impor, sementara di luar negeri juga takut kehilangan sumber dayanya. Jadi kita tanam kedelai sekarang."
Direncanakan budidaya tanaman kedelai akan mencapai 500 hektar. Dalam rangka menyokong rencana tersebut, Kementerian Pertanian (Kementan) memberikan bantuan sarana produksi, alat pra dan pasca panen, juga mendorong petani untuk memanfaatkan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta pengembangan korporasi dan klaster.
Di atas kertas, rencana strategis itu bagus dibaca dan untuk dipresentasikan di hadapan para pejabat.
Berdasarkan data riset, panen di Polman adalah sebanyak 28.800 ton dari luasan area 16.158 hektar atau tingkat produktivitas 1,7 ton/ha. Terinformasi produktivitas di Amerika 4 ton/ha karena pengelolaan yang efisien, selain penyinaran matahari yang lebih lama (16 jam).
Dengan rencana Kementan membudidayakan 500 hektar kedelai. Usia tanaman 3 bulan ditambah asumsi kegiatan pra dan pasca panen satu bulan, maka dikalkulasi perolehan hasil kedelai dalam satu tahun, sebagai berikut:
500 ha 1,7 ton/ha produktivitas 3 kali panen = 2.550 ton setahun.
Secara teoritis hasil yang direncanakan tersebut dapat memenuhi kebutuhan domestik akan konsumsi kedelai pada tahun depan.
Dalam kenyataannya, Indonesia berswasembada kedelai hanya sampai tahun 1974, lalu merosot karena pemerintah menitikberatkan kepada upaya peningkatan produksi padi. Kemudian sempat bangkit dengan perluasan lahan dan peningkatan produktivitas selama periode 1983-1993, bahkan pada tahun 1992 bisa swasembada kembali.