Aspal masih berselimut kabut pagi. Satu demi satu para pesepeda keluar dari Sanan, Malang, sebuah sentra pengrajin tempe. Di samping sepeda ditempelkan wadah terbuat dari bambu yang memuat tumpukan tempe.
Hampir setiap pagi saya menunggu pengrajin tempe langganan sebelum berangkat ke sebuah SMP Negeri dekat Rampal. Oleh Ibu saya, penganan berbungkus daun pisang, masih hangat akibat fermentasi, langsung dipotong-potong lalu digoreng.
Bumbunya sederhana, bawang putih dihaluskan bersama ketumbar sangrai, garam, dan diencerkan dengan air matang. Tanpa bumbu aneh-aneh, tempe goreng sudah terasa gurih, garing, dan menggugah selera, disantap dengan sepiring nasi hangat yang disiram sedikit kecap manis.
Namun semenjak tahun 1980-an rasa tempe seperti itu berubah. Harus memakai bumbu yang enak agar lezat. Harus digoreng dengan api kecil agar hasilnya garing.
Mungkin disebabkan tempe yang dibuat dari kedelai yang didatangkan dari luar negeri.
Sepanjang ingatan, waktu itu dipropagandakan bahwa kedelai impor lebih unggul dibanding produksi lokal. Biji kedelainya lebih besar, berukuran seragam, bersih, kulit arinya mudah dikupas, proses peragiannya lebih cepat, dan setelah berbentuk tempe lebih empuk. Kelebihan itu dapat meningkatkan laba pengrajin tahu tempe.
Sebaliknya, kedelai lokal selain terasa lebih gurih, ia memiliki rendeman lebih tinggi, umur tanaman lebih singkat (2,5-3 bulan dibanding 5-6 bulan), dan berisiko lebih rendah terhadap kesehatan karena berasal dari benih alami bukan transgenik.
Tetapi pertimbangan keuntungan yang lebih besar telah mengalahkan keunggulan kompetitif kedelai lokal.
Kenyataan di mana rakyat Indonesia adalah pemakan kedelai terbesar di dunia setelah China membuat berbagai pihak terpesona. Komoditas itu diserap oleh 70 persen industri tempe, 25 persen untuk tahu, dan sisanya untuk kecap dan produk makanan lainnya.
Konsumsi yang besar itu telah merangsang produsen kedelai dunia untuk menguasai pasar Indonesia. Juga importir yang berdalih "demi kebutuhan domestik" akan kedelai.
Terhitung sejak tahun 2006, setengah dari kebutuhan kedelai itu dipasok dari pasar internasional dan semakin meningkat setiap tahunnya.
Ketergantungan kepada impor kedelai membuat bangsa tempe...eh.. penggemar tempe itu rentan terhadap kenaikan harga. Isu kegagalan panen di Amerika dan Eropa bisa menyebabkan lonjakan harga kedelai di dalam negeri menjadi dua kali lipat, seperti yang terjadi di tahun 2008.
Sedangkan kebutuhan kedelai berkisar 2,5 ton atau lebih dalam setahun yang sebagian terbesar diperoleh dari impor.
Untuk itu, pada panen kedelai di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), hari Rabu (4/11/2020) lalu, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, menyebutkan bahwa penyediaan kedelai sebagai sumber pangan bergizi sangatlah penting.
"Untuk 273 juta penduduk Indonesia, kita harus produksi sebanyak-banyaknya, dan kebutuhan kedelai itu 2 sampai 3 juta ton. Sekarang kita banyak dipenuhi oleh impor, sementara di luar negeri juga takut kehilangan sumber dayanya. Jadi kita tanam kedelai sekarang."
Direncanakan budidaya tanaman kedelai akan mencapai 500 hektar. Dalam rangka menyokong rencana tersebut, Kementerian Pertanian (Kementan) memberikan bantuan sarana produksi, alat pra dan pasca panen, juga mendorong petani untuk memanfaatkan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta pengembangan korporasi dan klaster.
Di atas kertas, rencana strategis itu bagus dibaca dan untuk dipresentasikan di hadapan para pejabat.
Berdasarkan data riset, panen di Polman adalah sebanyak 28.800 ton dari luasan area 16.158 hektar atau tingkat produktivitas 1,7 ton/ha. Terinformasi produktivitas di Amerika 4 ton/ha karena pengelolaan yang efisien, selain penyinaran matahari yang lebih lama (16 jam).
Dengan rencana Kementan membudidayakan 500 hektar kedelai. Usia tanaman 3 bulan ditambah asumsi kegiatan pra dan pasca panen satu bulan, maka dikalkulasi perolehan hasil kedelai dalam satu tahun, sebagai berikut:
500 ha 1,7 ton/ha produktivitas 3 kali panen = 2.550 ton setahun.
Secara teoritis hasil yang direncanakan tersebut dapat memenuhi kebutuhan domestik akan konsumsi kedelai pada tahun depan.
Dalam kenyataannya, Indonesia berswasembada kedelai hanya sampai tahun 1974, lalu merosot karena pemerintah menitikberatkan kepada upaya peningkatan produksi padi. Kemudian sempat bangkit dengan perluasan lahan dan peningkatan produktivitas selama periode 1983-1993, bahkan pada tahun 1992 bisa swasembada kembali.
Selanjutnya produksi kedelai lokal menurun seiring dengan naiknya grafik impor.
Pada tahun 2012 atau 2014, kalau tidak salah, pemerintah sempat mencanangkan swasembada kedelai dengan format yang kurang lebih serupa (lahan seluas 500 ha, intensifikasi, mempermudah akses kepada kredit dan seterusnya). Tetapi program tersebut gagal.
Selain soal menyusutnya lahan dan rendahnya produktivitas, harga kedelai lokal tidak mampu bersaing dengan produk impor. Apalagi kemudian tata niaga kedelai dikuasai importir swasta sejak ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) IMF tahun 1998 dan kebijakan pemerintah AS pada tahun 2000 yang memberikan insentif bagi importir yang bersedia membeli kedelai dari AS.
Tidak mengherankan, bila AS menempati posisi teratas sebagai negara asal impor kedelai Indonesia. Pun harga kedelai di pasar internasional lebih murah. Kenyataan tersebut meruntuhkan semangat petani untuk menanam kedelai.
"Ya petani kita kan rasional. Daripada menanam kedelai ya lebih baik menanam beras dan jagung. Kecuali ada intervensi khusus dari pemerintah," ujar Made Astawan, Guru Besar Bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan IPB, sekaligus Ketua Forum Tempe Indonesia.
Kesimpulan
Rencana di atas kertas selalu bagus yang membuat keyakinan swasembada kedelai pada tahun depan mengemuka. Jalan yang ditempuh pun nyaris sama dengan sebelumnya: perluasan lahan, peningkatan produktivitas, bantuan alat, mendorong petani kedelai mencapai akses pembiayaan, program aksi korporasi.
Namun dalam praktiknya, sudah hampir dua dekade swasembada kedelai tidak pernah tercapai. Petani tetap tidak bersemangat membudidayakan kedelai.Â
Ketahanan pangan terancam keberadaannya.
Patut diperkirakan, rencana swasembada kedelai pada tahun depan dan berikutnya hanya akan menjadi program pidato pejabat. Dipastikan, kelak kegagalan program tersebut akan dibungkus dengan dalih-dalih melenakan.
Lebih elok jika para stakeholder membenahi tataniaga yang selama ini dikuasai importir swasta. Diperlukan kebijakan dari pemerintah untuk membenahi atau mengendalikan impor kedelai.
Dengan demikian, kemauan (willingness) pemerintah itu bisa menjadi sebuah titik tolak penting dalam mewujudkan swasembada kedelai yang diharapkan dapat merangsang (insentif) petani untuk menanam kedelai.
Selain membangun lahan khusus yang luas, mekanisasi pertanian skala besar yang efisien, dan membangun industri benih kedelai yang semuanya dilakukan demi meningkatkan produktivitas.
Atau barangkali pemerintah sudah terlanjur segan dengan para importir (baca: pedagang)?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H