"Aku harus segera keluar dari kawasan ini!" dengan terseok-seok Bubun terus berlari menjauhi teror kengerian.
Empat orang kawan seperjalanannya lebih dahulu terkapar dimangsa kunang-kunang.
***
Kawasan luas di balik bukit itu menyimpan misteri. Konon di dalamnya terdapat sebuah peradaban yang sangat berbeda dengan desa sekitar.
Wilayah tersebut dilindungi oleh hutan lebat, yang dikenal sebagai hutan larangan. Perangkat desa mewanti-wanti agar warga tidak melintasinya.
Bertahun-tahun lalu, beberapa warga desa nekat memasuki hutan larangan, berharap menemukan sumber pangan. Kemarau panjang telah menyurutkan hasil sawah ladang.
Melalui celah sempit di antara semak belukar mereka memasuki hutan larangan.
Tetapi mereka pulang tanpa nama, kecuali seorang pria yang kembali dalam keadaan lemah. Pada kulitya menggeliat lintah akibat menerobos semak-semak lembab.
Pada sekujur badannya terdapat cabikan-cabikan bersimbah darah.
Pria malang itu mengisahkan, "hutan terkutuk! Siapapun jangan mendekatinya. Di dalamnya beterbangan ratusan cahaya kuning kehijauan yang mengerikan.”
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya ia berpesan, “cahaya itu adalah kunang-kunang jelmaan kuku-kuku iblis.
Pak Lurah yang datang kemudian berkata dengan gusar, "Ya! Jangan sekali-kali ada yang berniat memasuki hutan larangan, beginilah akibatnya!"
Sebelum pulang Pak Lurah dengan keras memberi peringatan kepada warga, "di dalamnya bermukim iblis yang akan mencabik-cabik siapapun penerobosnya."
Pemimpin desa itu mengusung isu usang pembangkit roh ketakutan. Warga sepuh terpegun patuh.
Tapi tidak demikian dengan 5 pemuda yang bapaknya tertinggal.
Apakah masih hidup bersimbah darah atau berupa jenazah, mereka tetap bertekad menjemputnya.
"Kita harus berangkat. Bukankah bapak-bapak kita membutuhkan pertolongan?" Bubun berusaha menguatkan hati teman-temannya.
Sabit diasah sedemikian rupa, sehingga ketika disabetkan akan memotong lalat yang sedang terbang menjadi dua bagian. Pacul mampu menyabut pohon singkong dalam sekali gali. Golok menebang pohon pisang dalam sekali tebas.
Pokoknya semua alat pertanian dioptimalkan agar berfungsi ganda: sebagai penebas rintangan dalam hutan larangan dan sebagai alat pembela diri.
Rombongan memasuki hutan menjelang matahari padam. Dengan mengendap-endap, berhati-hati agar tidak menginjak ranting-ranting kering, lima pemuda gagah berani bergerak maju. Terus ke dalam, sampai ke bagian yang teduh dinaungi dedaunan.
Hanya ada suara belalang dan daun terinjak. Hening, lembab, dan mistis.
Tubuh-tubuh ringkih mengendap rata dengan tanah sampai di dataran paling tinggi. Di dataran bawahnya terpampang pemandangan menakjubkan.
Terhampar ladang dan sawah yang diairi dari telaga-telaga. Bentangan subur itu melingkupi bangunan-bangunan beton terang-benderang.
Mereka merangsek maju, menuju peradaban gemerlapan, mencari jejak bapak-bapak mereka, atau setidaknya mayatnya.
"Hoooy... siapa itu???" Sebuah gelegar suara menghentikan gerakan.
Tongkat-tongkat mengacung tepat ke arah mereka.
Lima pemuda itu terkesiap. Saling berpandangan lalu serentak berbalik arah mengambil langkah seribu.
Berlari, berlari dan terus berlari menjauh menghindar dari teror kengerian.
Tongkat-tongkat menyalak. Kilat menyambar-nyambar, mengejar-ngejar, mencabik-cabik. Empat orang kontan bergelimpangan.
Meskipun punggungnya terasa pegal dan mengalir cairan hangat, Bubun berlari dengan terseok-seok. Berlari dan terus berlari, ingin secepatnya keluar dari hutan larangan.
~~Selesai~~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H