Kenakalan-kenakalan kecil itu akhirnya ditutup dengan peristiwa penting dalam hidup.
Ya..!. kita saling melingkarkan cincin, seusai Aku mengucapkan janji suci. Hari-hari berikutnya diisi dengan taman cinta di antara kita, ladang kasih di antara dua kekasih. Dua sejoli semakin bahagia setelah lahirnya sang buah hati.
Aku tidak ingat persis, berapa lama kebagian itu. Rasanya sampai anak tunggal kita meremaja.
Di balik kebahagiaan itu, ada kenangan yang ingin kuhapus dari ingatan. Satu waktu, kemuraman membungkus hidup kita. Usaha yang kutekuni bertahun-tahun ambruk begitu saja. Tidak perlu diungkit sebab musababnya.
Yang jelas Aku merasakan akibatnya. Aku merasa tidak memiliki martabat di hadapanmu, lebih rendah dari sandal jepit. Bayangkan, betapa tersungkurnya Aku, jatuh dalam jurang ketidakpastian.
Meski demikian, Aku tahu, Engkau tetap kuat hati mendampingi. Aku tahu, Engkau senantiasa menumbuhkan semangat. Aku tahu, Engkau setia menemani dalam keadaaan senang maupun berantakan.
Tetapi, sifat egoku telah menutupi rasa rendah diri, sehingga hal-hal baik menjadi tidak kasat mata. Secara harfiah maupun dalam arti kiasan. Seumpama debu melekat pada badan yang tidak pernah dibersihkan, semakin lama semakin menebal menjadi kotoran dan penyakit.Â
Dari kegelisahan menumpuk menjadi kemarahan tidak berujung pangkal.
Menanggung kegelisahan itu menyakitkan bagiku. Saat itu Aku harus memilih: memendam dalam pusara kelu atau meletupkannya menjadi kemurkaan. Keduanya  adalah perangai tidak patut. Aku baru tahu sekarang.
Aku menjadi mengerti mengenai keadaan itu, setelah kerap bercerita tentang seluruh rahasia kepada angin, tentang kerinduan sekaligus kepiluan.
Kerinduan dan kepiluan yang mengaduk perasaanku. Oleh karena itu, sesungguhnya Aku ingin curhat, menyampaikan curahan hati kepadamu, setelah merenungkan segala penyesalanku.