Belum lagi memikirkan Yuli, waitress yang selalu mengenakan rok terlalu pendek, yang secara demonstratif duduk di bar stool yang tinggi ketika aku lewat.
Ditambah rekannya, Sinta yang dipastikan bersedia dibawa ke mana saja, asalkan dibelikan beberapa butir pil ekstasi. Atau Aniek, bartender wanita dengan senyuman mampu meruntuhkan pertahanan.
Pokoknya masih banyak pegawai-pegawai membutuhkan perhatian ekstra, yang salah-salah akan dapat menjerumuskanku kepada kesulitan-kesulitan dalam mengambil keputusan.
Atau apakah itu bisa juga disebut sebagai bagian dari keindahan pekerjaan, di tempat yang sebagian besar pegawainya adalah wanita muda?
Seperti biasa, pada sore hari itu mereka berganti kostum di loker, yang dipisahkan oleh papan kayu antar ruang pria dan wanita. Suara percakapan-percakapan terdengar melalui setumpukan kertas di ruang kerjaku. Aku tersenyum mencatat keakraban itu.
Tetapi tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan histeris diikuti suara gaduh. Aku yang merasakan sesuatu hal tidak beres segera melompat menuju ruang loker.
Aku menyaksikan Vinny, gadis muda bertubuh mungil, ramping, berwajah manis, meronta-ronta dipegang oleh empat orang pria rekan kerjanya. Kemudian dua orang lagi dengan sekuat tenaga memegang kedua kakinya.
Merintih dan meronta sedemikian kencang sehingga seragam putih yang baru dipakainya sedikit terkoyak pada bagian kancingnya. Tetapi tidak satupun yang memperhatikannya.
Mata Vinny membesar, melotot. Kekuatannya meningkat berlipat-lipat, meronta sekuat tenaga. Wajahnya tegang seperti menahan sesuatu.
Ujaran-ujaran berdengung di sekitarnya. Semua orang membacakan doa-doa. Sebahagian mengucapkan doa tanpa suara, hanya bibirnya yang berkecamuk.
Pokoknya semua orang dengan segala cara berusaha mengendalikannya dan berdoa.