Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pemaknaan tentang Dua Paradigma dari Balik Jendela

21 Agustus 2020   08:21 Diperbarui: 21 Agustus 2020   08:21 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajah menguncup gelisah menjelma tegang. Dahi mengernyit,  mata melampaui jendela berbingkai putih mengeker dua noktah.

"Sssttt.......lihat dengan ekor mata! Aku perhatikan dari tadi dua orang itu mengintai, menguping pembicaraan kita. Bukankah mereka juga mengikuti kita sejak wisuda waktu itu?"

Pandangan menembus kaca jendela, melewati jalan berkerikil, menerabas lapangan rumput bermuda terpangkas rata. Di tepinya berdiri kokoh dua pohon mahoni besar seusia bangunan, dibentengi pagar kawat harmonika berwarna perak.

Seperti pagar kampusku yang berkilat-kilat keperakan tertimpa sinar siang nan garang. Mengungkung kukuh angkuh setinggi dua meter.

Pembatas besi itulah yang melindungi para mahasiswa dari kejaran aparat. Waktu itu universitas masih memiliki kedaulatan, di mana aparat tidak boleh sembarangan masuk tanpa seijin rektorat.

Rektor sangat protektif terhadap mahasiswanya, sekalipun mereka aktivis penentang kebijakan pemerintah. Para aktivis itulah yang dikejar-kejar aparat setelah demonstrasi menentang program perkebunan inti rakyat (PIR).

PIR yang lahir dari rahim liberasi ekonomi, menguntungkan segelintir orang. Pengusaha-pengusaha itu diyakini akan mampu menggerakkan roda perekonomian negara oleh penguasa yang bertonggakkan paradigma ekonomi pembangunan.

Demi "pembangunan" itu pulalah, sendi-sendi perekonomian rakyat dikorbankan. Mereka hanya menikmati trickle-down effect, tetesan-tetesan dari proyek raksasa, dengan menjadi buruh di kampung halamannya sendiri.

Seperti yang terjadi di daerah Pangandaran dan Sukabumi Selatan. Kultur pertanian dan perkebunan tradisional, yang telah mengakar ratusan tahun, dihancurleburkan agar tanaman hibrida dipaksa bertumbuh.

Masyarakat yang tadinya tentrem gemah ripah loh jinawi tiba-tiba kehilangan sumber penghasilan utama. Dari petani yang merdeka menjadi buruh perkebunan dengan upah yang tidak memadai untuk menghidupi keluarga selama sebulan, apalagi menyekolahkan anak.

Pendampingan atas ketidakadilan yang menimpa masyarakat terpinggirkan itulah fokus para aktivis.

Sahabatku dan Aku merupakan sepasang pejuang garda terdepan.

Ia adalah orator ulung, sehingga dipercaya menjadi penggerak sekumpulan demonstran di jalanan. Sedangkan aku berada di tataran think-tank, sehimpunan pemikir menjelang rencana aksi.

Makanya aku menguasai hal ihwal teorema neoliberalisme yang dicanangkan oleh Reagan bersama Thatcher.

Sebaliknya, aku juga sangat memahami paradigma dependensia Andre Gunder Frank yang menyatakan, bahwa liberalisasi adalah upaya Barat dalam rangka menguasai perekonomian negara berkembang. Selanjutnya kapitalisasi ini akan menciptakan ketergantungan negara penerima hutang kepada negara donor.

Tentu saja pemikiran leftist semacam itu diharamkan oleh pemerintahan era 80-an.

Kami, para aktivis mahasiswa, suatu ketika diciduk. Meskipun tidak diperlakukan sebagaimana pesakitan biasa, namun sempat mengalami proses "cuci otak" selama penahanan.

Para aktivis dianggap sebagai tamu agung pada sebuah gedung tanpa papan nama di Jalan Sumatera. Dijamu dengan makanan dan minuman terbaik.

Sambil menikmati hidangan, orang-orang bersepatu lars tidak berseragam melempar banyak pertanyaan di dalam kamar tertutup, dan hanya diterangi satu lampu bohlam berdaya 60 watt, selama berhari-hari.

Keluar dari gedung itu, kami tetap sehat wal afiat tanpa lecet seujung rambut sekalipun. Malahan berat badan bertambah. Hanya saja menjadi bingung kehilangan orientasi dan pedoman waktu.

Seperti salah satu kawan seperjuangan. Setelahnya, Ia pulang kampung. Tak lama terkabar, ia menggantung pada dahan pohon di hutan tidak jauh dari rumahnya.

Tapi sahabatku kian bersemangat. Meski sedikit linglung, jiwa pemberontakannya kian membara. Malah semakin kritis menyuarakan pembelaan kepada rakyat dan penentangan terhadap pemerintah.

Terakhir, Ia menginisiasi long-march sebagai bentuk perlawanan terhadap  pembangunan waduk Kedung Ombo. Akibatnya, jiwanya diteror pikirannya dihantui, dikejar-kejar sekumpulan mimpi buruk.

Namun bagiku, romantisme itu tidak berlangsung lama. Pertimbangan terutama adalah, bahwa pada kenyataan bapakku pegawai negeri. Karirnya bisa rontok jika ada anggota keluarganya terlibat dalam pergerakan melawan pemerintah. Apalagi dilakukan oleh anaknya.

Pertimbangan itu menyusutkan keterlibatanku dalam pergerakan. Aku berkonsentrasi pada kelulusan.

Namun demikian, sampai tiba waktunya diwisuda, sahabatku dan Aku masih merasakan adanya pengawasan aparat. Penilikan intelejen, kendati tidak kentara tapi tetap terasa.

Kemudian kesibukan masing-masing telah membentangkan jarak. Sampai dengan perjumpaan hari ini. 

Perjumpaan di bangunan tua berdinding putih, jendela putih, ranjang putih, orang-orang pucat berpiyama putih.

Tidak banyak yang dibicarakan, kami sama-sama mahfum tentang pengalaman sewaktu menjadi mahasiswa. Aku masih mampu menerangkan dengan terang benderang pemaknaan tentang paradigma neoliberalisme dan dependensia.

Sebagian besar pembicaraan kami adalah mengenai antagonisme dua paradigma itu.

"Ayo, sudah waktunya tidur! Mohon maaf, waktu kunjungan sudah berakhir," suara halus gadis bening berseragam putih beralaskaki teplek menyibak percakapan.

Kami serempak mengangguk lemah. Lantas bergulirlah  saat perpisahan.

Setelah menelan sejumlah obat, agar malam nanti pulas tidak dikejar-kejar sekumpulan mimpi buruk, Aku segera merebahkan diri di atas sprei putih.

Aku memenungkan jalan berkerikil, rumput bermuda hijau terpangkas rata, pohon mahoni besar, pagar kawat harmonika berwarna perak, dan bangunan yang kembali sunyi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun