Sahabatku dan Aku merupakan sepasang pejuang garda terdepan.
Ia adalah orator ulung, sehingga dipercaya menjadi penggerak sekumpulan demonstran di jalanan. Sedangkan aku berada di tataran think-tank, sehimpunan pemikir menjelang rencana aksi.
Makanya aku menguasai hal ihwal teorema neoliberalisme yang dicanangkan oleh Reagan bersama Thatcher.
Sebaliknya, aku juga sangat memahami paradigma dependensia Andre Gunder Frank yang menyatakan, bahwa liberalisasi adalah upaya Barat dalam rangka menguasai perekonomian negara berkembang. Selanjutnya kapitalisasi ini akan menciptakan ketergantungan negara penerima hutang kepada negara donor.
Tentu saja pemikiran leftist semacam itu diharamkan oleh pemerintahan era 80-an.
Kami, para aktivis mahasiswa, suatu ketika diciduk. Meskipun tidak diperlakukan sebagaimana pesakitan biasa, namun sempat mengalami proses "cuci otak" selama penahanan.
Para aktivis dianggap sebagai tamu agung pada sebuah gedung tanpa papan nama di Jalan Sumatera. Dijamu dengan makanan dan minuman terbaik.
Sambil menikmati hidangan, orang-orang bersepatu lars tidak berseragam melempar banyak pertanyaan di dalam kamar tertutup, dan hanya diterangi satu lampu bohlam berdaya 60 watt, selama berhari-hari.
Keluar dari gedung itu, kami tetap sehat wal afiat tanpa lecet seujung rambut sekalipun. Malahan berat badan bertambah. Hanya saja menjadi bingung kehilangan orientasi dan pedoman waktu.
Seperti salah satu kawan seperjuangan. Setelahnya, Ia pulang kampung. Tak lama terkabar, ia menggantung pada dahan pohon di hutan tidak jauh dari rumahnya.
Tapi sahabatku kian bersemangat. Meski sedikit linglung, jiwa pemberontakannya kian membara. Malah semakin kritis menyuarakan pembelaan kepada rakyat dan penentangan terhadap pemerintah.