Wajah menguncup gelisah menjelma tegang. Dahi mengernyit, Â mata melampaui jendela berbingkai putih mengeker dua noktah.
"Sssttt.......lihat dengan ekor mata! Aku perhatikan dari tadi dua orang itu mengintai, menguping pembicaraan kita. Bukankah mereka juga mengikuti kita sejak wisuda waktu itu?"
Pandangan menembus kaca jendela, melewati jalan berkerikil, menerabas lapangan rumput bermuda terpangkas rata. Di tepinya berdiri kokoh dua pohon mahoni besar seusia bangunan, dibentengi pagar kawat harmonika berwarna perak.
Seperti pagar kampusku yang berkilat-kilat keperakan tertimpa sinar siang nan garang. Mengungkung kukuh angkuh setinggi dua meter.
Pembatas besi itulah yang melindungi para mahasiswa dari kejaran aparat. Waktu itu universitas masih memiliki kedaulatan, di mana aparat tidak boleh sembarangan masuk tanpa seijin rektorat.
Rektor sangat protektif terhadap mahasiswanya, sekalipun mereka aktivis penentang kebijakan pemerintah. Para aktivis itulah yang dikejar-kejar aparat setelah demonstrasi menentang program perkebunan inti rakyat (PIR).
PIR yang lahir dari rahim liberasi ekonomi, menguntungkan segelintir orang. Pengusaha-pengusaha itu diyakini akan mampu menggerakkan roda perekonomian negara oleh penguasa yang bertonggakkan paradigma ekonomi pembangunan.
Demi "pembangunan" itu pulalah, sendi-sendi perekonomian rakyat dikorbankan. Mereka hanya menikmati trickle-down effect, tetesan-tetesan dari proyek raksasa, dengan menjadi buruh di kampung halamannya sendiri.
Seperti yang terjadi di daerah Pangandaran dan Sukabumi Selatan. Kultur pertanian dan perkebunan tradisional, yang telah mengakar ratusan tahun, dihancurleburkan agar tanaman hibrida dipaksa bertumbuh.
Masyarakat yang tadinya tentrem gemah ripah loh jinawi tiba-tiba kehilangan sumber penghasilan utama. Dari petani yang merdeka menjadi buruh perkebunan dengan upah yang tidak memadai untuk menghidupi keluarga selama sebulan, apalagi menyekolahkan anak.
Pendampingan atas ketidakadilan yang menimpa masyarakat terpinggirkan itulah fokus para aktivis.