Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kawan Baikku

14 Agustus 2020   20:18 Diperbarui: 18 Agustus 2020   19:30 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh JayMantri dari pixabay.com

Apa boleh buat, terpaksa kuhentikan pekerjaan melangsir batu. Bagaimana tidak? Ternyata pasukan pak RT amatlah lembek, tidak sesuai kesepakatan.

Pekerjaan melangsir batu itu harus terlaksana dalam dua puluh hari, agar tidak menyendatkan pekerjaan memasang dinding. Proyek pemasangan Dinding Penahan Tanah (DPT) yang longsor harus diselesaikan tepat pada waktunya.

Untuk itu Aku biasanya membawa pasukan pekerja yang sudah mengerti, bahwa proyek pemerintah harus tepat waktu.

Pada sisi lain pak RT meminta  supaya warga setempat dilibatkan dalam proyek. Sebetulnya Aku kurang afdol dengan desakannya.

Menurut pengalaman, pekerja setempat cenderung berleha-leha. Sejam ngopi pada jam sepuluh pagi. Kalau istirahat sholat dan makan siang sih wajar. Tetapi setelah ashar, mereka bersantai ngopi lagi sambil membersihkan peralatan sehingga tiba kepada pukul lima sore.

ilustrasi batu (dokpri)
ilustrasi batu (dokpri)
Namun sekali ini Aku terpaksa menyetujui permintaan pak RT. Pertama, Ia sepakat dengan tawaranku, yakni sanggup melangsir 70 truk batu dengan harga borongan dan dalam jangka waktu tertentu.

Kedua, setengah menakut-nakuti, Ia bercerita tentang seorang warganya yang adalah preman disegani di kawasan alun-alun.

Preman yang dijuluki Tison itu, konon, residivis yang sudah tersohor di kalangan aparat. Keluar masuk bui adalah makanannya. Ia juga preman bernyali, meski pendek tetapi badannya gempal berleher beton seperti Mike Tyson.

Jika menyakiti lawannya dengan alasan apapun, maka Ia akan menusukkan ujung belati ke perut musuhnya. Tidak bakal mematikan, cukup merobek kulit perut sedalam 1 senti sepanjang 15-20 sentimeter saja.

Menyayat sedemikan, konsekuensinya akan sama saja dengan menghantamkan tangan kosong atau batu bata ke kepala lawan. Sama-sama delik penganiayaan, sama pula tempo hukumannya.

Preman itu adalah kepala geng Budat, yang sangat ditakuti oleh warga. Beberapa orang mengonfirmasi kekejamannya, kendati Aku masih penasaran dengan sosoknya.

Tetapi bayangan kengerian itu menguap seiring dengan timbulnya masalah kelambanan yang memicu pertengkaran. Aku mengkhawatirkan molornya proyek. Pak RT mengkhawatirkan nasib warga yang sudah direkrutnya.

Ia mengancam akan mengadukannya ke Tison. Aku tak gentar. Aku lebih gentar dengan dampak keterlambatan, toh Aku tidak mengenal Tison.

Keputusanku sudah tetap, pekerjaan pasukan pekerja pak RT dihentikan, membayar prestasi yang sudah diperolehnya, dan menunggu rombongan pekerja yang biasa Aku gunakan.

Sehari jeda masih bisa ditolerir, sekaligus mengambi kesempatan melepaskan tekanan menggelisahkan. Rumah Edot menjadi pilihan, selain jaraknya dekat dengan lokasi proyek, bisa bermalam, dan juga berhawa sejuk.

Angin berkesiur menyibak daun pinus menembus ruang keluarga sebuah rumah yang luas. Pepohonan dan bunga-bunga di halaman adalah pemandangan mendamaikan.

Rumahnya tak banyak perubahan. Sudah lama sekali, semenjak wisuda, Aku tidak mengunjungi Edot, berpangkal dari kesibukan masing-masing. Meski demikian, Aku mendapat konfirmasi bahwasanya kawan baikku itu masih tinggal di Bukit Dago Atas. Bermukim di rumah lama peninggalan orangtuanya.

Barangkali orangtuanya mendapatkannya dari peninggalan orangtuanya. Bisa jadi orangtua dari orangtuanya memperoleh rumah itu dari orangtuanya.

Orang sepertinya, dan sepertiku, masih sama-sama kelihatan bernas. Entah apa persisnya pekerjaan kawan baikku itu, badannya sehat, kekar, dan legam. Ia masih kuat bertelanjang dada. Baginya udara terasa biasa saja, tidak bagiku. Dingin!

Ia meneguk gelas birnya, sementara Aku menghangatkan badan menyesap kopi yang sudah dingin. Berbatang-batang puntung rokok tergeletak dalam asbak menemani obrolan.

Banyak hal yang ingin Aku ceritakan. Sedikit hal yang Edot enggan ceritakan. Yang pasti sama-sama suka ngopi, mengepulkan asap, dan bercerita tentang masa lalu.

"Proyek apa yang sedang dikerjakan? Kok santai betul?" Edot bertanya sambil menenggak tetesan bir terakhir.

Sejenak Edot berdiri, berjalan ke depan, membuka pintu, dan menyeru kepada seseorang di luar, "Te, ....ke sini sebentar. Ambilkan dua botol bir di warung depan. Buruan gih!"

Seorang pria tergopoh-gopoh menghampiri. Pintu terbentang.  Terbelalak, bola matanya menyorot kepadaku, yang sedang selonjoran di sofa sembari menyeruput kopi

"Iii... ya... iya, se...se.... segera Kang Tison....", pak RT terbirit-birit pergi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun