Tetapi bayangan kengerian itu menguap seiring dengan timbulnya masalah kelambanan yang memicu pertengkaran. Aku mengkhawatirkan molornya proyek. Pak RT mengkhawatirkan nasib warga yang sudah direkrutnya.
Ia mengancam akan mengadukannya ke Tison. Aku tak gentar. Aku lebih gentar dengan dampak keterlambatan, toh Aku tidak mengenal Tison.
Keputusanku sudah tetap, pekerjaan pasukan pekerja pak RT dihentikan, membayar prestasi yang sudah diperolehnya, dan menunggu rombongan pekerja yang biasa Aku gunakan.
Sehari jeda masih bisa ditolerir, sekaligus mengambi kesempatan melepaskan tekanan menggelisahkan. Rumah Edot menjadi pilihan, selain jaraknya dekat dengan lokasi proyek, bisa bermalam, dan juga berhawa sejuk.
Angin berkesiur menyibak daun pinus menembus ruang keluarga sebuah rumah yang luas. Pepohonan dan bunga-bunga di halaman adalah pemandangan mendamaikan.
Rumahnya tak banyak perubahan. Sudah lama sekali, semenjak wisuda, Aku tidak mengunjungi Edot, berpangkal dari kesibukan masing-masing. Meski demikian, Aku mendapat konfirmasi bahwasanya kawan baikku itu masih tinggal di Bukit Dago Atas. Bermukim di rumah lama peninggalan orangtuanya.
Barangkali orangtuanya mendapatkannya dari peninggalan orangtuanya. Bisa jadi orangtua dari orangtuanya memperoleh rumah itu dari orangtuanya.
Orang sepertinya, dan sepertiku, masih sama-sama kelihatan bernas. Entah apa persisnya pekerjaan kawan baikku itu, badannya sehat, kekar, dan legam. Ia masih kuat bertelanjang dada. Baginya udara terasa biasa saja, tidak bagiku. Dingin!
Ia meneguk gelas birnya, sementara Aku menghangatkan badan menyesap kopi yang sudah dingin. Berbatang-batang puntung rokok tergeletak dalam asbak menemani obrolan.
Banyak hal yang ingin Aku ceritakan. Sedikit hal yang Edot enggan ceritakan. Yang pasti sama-sama suka ngopi, mengepulkan asap, dan bercerita tentang masa lalu.
"Proyek apa yang sedang dikerjakan? Kok santai betul?" Edot bertanya sambil menenggak tetesan bir terakhir.