Bangunan yang telah dibentuk dengan pergulatan bersama itu, kini telah roboh. Luluh-lantak berkeping-keping melabuhkan serpih-serpih luka beterbangan di sekitar kepala yang berputar-putar kehilangan akal.
Betapa tidak?
Itu semua bermula dari sebuah ihwal remahan rapuh yang senantiasa haus kemanjaan. Sebuah perkenalan yang menjadi titik tolak keruntuhan.
Niko mengenalnya di sebuah keramaian pada sebuah jalan bersejarah di kota budaya itu.
Jalan yang membentang dari utara ke selatan, dari Pal Putih melintasi keraton dan berakhir di panggung Krapyak. Bila ditarik lurus akan membentuk sebuah garis imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi dengan Pantai Laut Selatan.
Ia terperangkap dalam kemeriahan memesona di sepanjang jalannya. Di ujung trotoar lebar berjajar warung-warung tenda yang menyajikan masakan angkringan dan olahan lezat lainnya.
Sesudahnya, terdapat berkelompok-kelompok orang yang mempertunjukkan seni tari kontemporer dan musik membahana indah.
Malioboro pada waktu malam adalah tentang menggauli makanan enak dan bergumul dengan kemeriahan penuh perayaan.
Niko sedang menonton aksi sekelompok penampil musik kulintang ketika sebuah tangan halus memegangnya. Seorang gadis manis meraih tangan Niko sembari melompat bersorak-sorai kegirangan.
Sejenak gadis itu tersipu ketika menyadari kekeliruannya, mengira tangan kekar itu milik temannya. Segera dilepasnya tangan berbulu itu dan perhatiannya kembali terpusat kepada pertunjukan musik.
Pandangan Niko terbelah, matanya terpikat kepada sosok gadis elok itu. Betapa indah dipandang di bawah cahaya lampu trotoar yang benderang.